Jumat, 29 Juli 2011

- SAKiT -

Senantiasa kubaca, dan kubaca setiap keluh itu. Tergambar dalam tiap helaan kata yang berhembus membisikkan sakit. Terkapar dalam selimut yang membaluti tubuh lemah, kau senantiasa bernyanyi tentang harapan hati. Juga galau yang terpendam. Sakit itu membunuh asa, tapi tak mematikan jiwa. Demikian pula cinta.

Hujan membasuh daratan tempatku berdiam malam ini. Malam dimana aku membaca guratan itu. Di seberang, lantunan nada dan suara Iwan Fals dan Fadli Padi memecah kebisuan. Temui cinta, lepaskan rasa.

Ingin rasanya berlagak bak seorang nabi, menuntun umatnya ke jalan yang ia yakini sebagai ruang kebenaran. Namun, tak cukup teori dan pengetahuan, serta tak punya pula diriku akan kitab yang disucikan, pula kalimat bijak dan fatwa penunjang yang menunjang daku tuk berlagak. Yang kupunya hanyalah hati, melonjak menari dalam kebebasan. Melihat, mengamati, lalu menuliskannya kembali. Seperti malam ini, melihat catatan keluh mu itu, ingin rasanya ku menjadi seorang nabi.

Sakit memang terkadang membuat kita apatis memandang hidup. Demikian pula atas cinta yang mulai menjauh. Sang ego senantiasa menguasai diri. Penguasaan yang sering kita nafikkan keberadaannya. Ketika kita lemah, karena eksternality diri, yang menopang bagian jiwa kita berlalu dari keseharian dan kebersamaan, sang ego kan berontak, menjatuhkan kita sampai pada titik kesedihan yang tak terperi. Ternyata rasa cinta dan kepemilikan, bukanlah kita peruntukkan pada bagian hidup yang terpisah dari internal diri, melainkan rasa yang mesti hadir akibat tuntutan ego. Kita mencintai diri kita sendiri, yang tak mau lemah dan kehilangan kepemilikan. Sakit itu, menjadi sakit diri yang tak ingin ditinggalkan olehnya.

Mungkin tidak untuk dikau, yang saat itu terbaring lemah di pelataran ruang ber cat putih, saat para pekerja berseragam, mulai mengutak - atik tubuh lemahmu. Imajimu berkisah, kau tak kan lagi memilikinya, karena terpuruk dalam sakit yang terus menggerogoti paruh waktu hidup. Mencuri sebagian harta tubuh, sebagai bagian dari identitas kewanita-an. Imajimu melahirkan goresan keluh, dan tanpa disengaja aku membacanya.

Satu yang kukagumi, kau terus menulis. Menulis dengan wajah yang senyum, meski hati galau dalam ringisan nasib. Temui cinta, lepaskan rasa. Temui cinta dalam dirimu, dan lepaskanlah rasa. Sebab, sang cinta yang menyakiti, senantiasa bersembunyi dengan tenang dalam internality jiwa. Kenyataan itu pahit, kenyataan itu sangatlah pahit...teriak Iwan Fals dalam sesuatu yang tertunda..., namun tak senantiasa mesti terus membuat kita terpuruk dalam keluh...

--------------------------- Kaki Gamalama yang basah di gerbang ramadan 30 juli 2011 (Itevsky*)

AsaP

Asap itu kubiarkan mengepul, sambil jemariku terus menekan huruf di perangkat mini ini. Semua yang tertulis, berlalu ibarat asap yang terlepas dari bara api racun kapitalisme yang terselip di kedua belahan bibir hitamku.

Aku pernah menulis kawan, mungkin malam ini sedikit melankoli, juga sekedar romantisme..bahwa, jika tuhan itu ada, jika ujian hidup adalah bagian dari wujud cinta kasih tuhan pada umatnya, maka aku berani meyakini Tuhan lagi jatuh cinta kepadaku. Dengan irama kasih sayangNya, Ia - Sang Pemegang Kuasa Hari Akhir Itu, sedang bermain - main dengan panah amor dalam kehidupanku akhir-akhir ini.

Seperti asap, wujud itu nampak, lalu lenyap muspra tertelan angin. Jika, cobaan adalah ujian hidup, sementara ujian hidup adalah perwujudan cinta kasih Tuhan pada UmatNya, maka kuyakin, tuhan lagi kasmaran padaku..Adakah kau ?

Asap itu masih mengepul...

Sosok Imaji

Kawan, dalam sebuah perjalanan pulang dari sebuah kampung nun jauh di pelosok timur nusantara, sempat kusaksikan sosok imaji yang pernah mengganggu alam hayal kita dulu. sosok gadis desa berkain bebat..

Yang kumaksud dengan imaji, ia - gadis itu, kudapati baru saja usai melakukan ritual mandinya di aliran bantaran sungai. Kau ingat bukan, ketika kita bicara tentang tetralogi nya bung pram..bagaimana dengan bahasa yang lepas namun anggun ia menggambarkan sosok seorang tokoh wanitanya..aku tak pandai merangkai kata untuk moment yang satu ini. Yang kuingat, ia - gadis desa berkain bebat, dengan rambut basahnya yang dibiarkan terjuntai, hanya melemparkan senyum, lalu berlalu dalam senyum tertunduk dari pandanganku.

Yah, sejenak aku sadar, ia gadis desa berkain bebat itu, adalah sosok imaji, yang pernah hadir dalam dialog hayal kita dulu...

NafaS

Bung, pernahkah dalam paruh waktu hidupmu ini, sejenak memperhatikan hembusan nafas mereka yang lelap dalam buaian mimpi ? Jika belum, cobalah luangkan waktu untuk itu..,

Disana, kan kau dapati ribuan kisah tentang hidup. Tarikan nafas itu, lalu terhembus.. Perulangan dalam tempo yang sejajar, dengan hitungan waktu yang tak tentu..
Bukan dengkuran yang kubicarakan..tetapi nafas. Ya nafas, bukan dengkuran..karena dengkuran hanyalah pengabaian fokus dalam bentuk bunyi..tapi nafas, ya, nafas yang mesti kau perhatikan..

Ia - nafas itu, sangatlah sepele. Namun, dari yang sepele itu, bisa kita maknai bersama berjuta kedalaman ilmu yang termaktub didalamnya.

Jasad yang montok, ganteng, cantik, aduhai, berotot, dlsb. Gelar yang tinggi menjulang, harta yang berlimpah, serta kesuksesan yang gemilang..muspra bagai buih tanpa nafas..

Nafas, dari lelapnya seseorang, kita bisa dalami makna kehidupan..disitu tergambar peta kebenaran..

TakuT

Tumpukan majalah Tempo, yang telah rapi ditata oleh Dino diatas meja kerjaku, tak serapi isi kepala yang semakin liar menerawang dalam ketakutan. Takut adalah balance keberanian. Dan, memandang hidup untuk beberapa waktu kedepan, balance keberanian itu, senantiasa menghantui detak nadi keseharianku.

"Selamat datang di dunia nyata", demikian kata seorang kawan, usai kuucapkan ijab kabul pada 24 juli 2010, di kediaman orang tua istriku, kala itu. Ya, dunia nyata, tak senantiasa seirama dengan alam hayal. Ia-alam nyata itu, memiliki ritmenya sendiri. Dengan segala kemajemukannya, lebih sering menjungkir-balikkan impian dan harapan yang dibangun. Alam nyata, senantiasa butuh kesabaran, keteguhan dan gerakan tuk menembus labirin kehidupan.

Takut, menjadi lebih sering hadir membayangi rasa dalam jiwa-jiwa kerdilku. Takut-ku, bukan karena rekening gendut kepala daerah dengan sketsa sosok berpakaian pejabat pemerintah yang menggenggam celengan babi buntal, pada cover depan majalah Tempo edisi 25-31 juli 2011. Takut ku-signifikan bedanya dengan itu. Berbeda pula dengan ketakutan dipecat Golkar karena mendukung Nasdem. Beda, karena aku tak mahfum politik praktis, juga tak jadi bagian atas kedua dagelan itu. Aku bagian yang terlepas dari keduanya, namun merasa takut, sama seperti substansi yang dikejar oleh kedua judul berita itu.

Ketenarankah ? Atau, kekayaan ? - juga bukan keduanya. Ketakutan yang membayangi, adalah ketakutan tak memiliki alat tukar dalam hubungan sosial balas jasa. Takut-ku, takut semu. Takut kehilangan esensi makna atas kata tanggung jawab-sebagai ini, sebagai itu, dan sebagai bagai lainnya. Takut-ku, takut yang hadir membayang karena undangan dari rasa khawatir menjalani hidup di waktu muka. Takutku-takut akan bayang-bayang masa semu.

Sabtu, 02 Juli 2011

SELAMAT JALAN SANG PEJUANG

Award Lingkungan Hidup WALHI MALUT buat Pendeta Tjantje G. Namotemo
Oleh: Ismet Soelaiman
Eksekutif Daerah WALHI MALUT

Indonesiaku masih tegak
Karena doa orang – orang tertindas
Yang didengar Tuhan
Karena Doa mereka
Menembus ketujuh petala langit
Tanpa hijab

Penggalan puisi yang mengawali tulisan ini, adalah buah tinta Syaiful Bahri Ruray (Ko’ Ipul), dengan judul Atas Nama Rakyat, merupakan salah satu puisi dari kumpulan puisi Mata Hati dan Nafas Kehidupan (Pustaka FOSHAL, 2005). Bagi saya, puisi adalah nyanyian hati, sebuah bahasa sastra dengan kandungan berjuta makna. Mengalir tanpa kemunafikan, sesuai rasa yang lepas tanpa bungkus topeng kamuflase ke-genitan intelektual (jika memang demikian sebuah karya sastra itu mesti lahir). Tulisan ini tak bermaksud menggugat penggalan puisi diatas, karena hal yang sama pun saya yakini, bahwa negeri ini masih tegak, karena rakyatnya masih mau mengakui dan bernaung didalamnya. Karena, kami – yang adalah bagian dari rakyat itu, masih mau mencintainya.

Merah putih masih berkibar, diujung perahu sebuah sampan nelayan. Meski, atas nama Negara, sebuah investasi pertambangan harus memaksa mereka mengungsi dari kediaman tanah leluhur. Itulah akhir dari rekaman film documenter Bye – Bye Buyat. Lalu, dalam bait berikut dari puisi Atas Nama Rakyat, tinta Ko’Ipul bergumam, “Seandainya tanpa mereka (rakyat – pen), dan tinggal hanya para elit saja yang berasyik masyuk bertikai untuk kepentingan diri dan kelompok semata, maka kuyakin Indonesiaku telah lama tiada, karena tercabik – cabik oleh perseteruan elit yang tiada habisnya”, closing bait.

Yah, sang Elit di negeri ini sangat hobi bertikai. Dan “kita” hanya terlongo menjadi penonton bisu yang setia. Tapi, bukan elit yang ingin saya bahas dalam tulisan ini. Saya hanya ingin mengabarkan, bahwa di Jazirah Maluku utara, seorang rakyat – Pejuang Lingkungan Hidup telah lebih dulu menggapai kedamaian disisi Sang Pencipta. Adalah Bapak Pendeta Tjantje G. Namotemo (Pak Pendeta). Untuk itu, kami – Keluarga Besar WALHI, mengangkat topi dan membukuk sedalam – dalamnya dengan penuh keikhlasan.

SANG PEJUANG DALAM SECUIL REKAM JEJAK

“Saat itu, jumlah massa rakyat, cukup banyak. Mencapai ratusan orang yang menduduki Hutan Adat Soa Pagu di Toguraci, lokasi operasi PT. NHM, pada tahun 2004. Lalu tertembaklah si Rusdy Tunggapi, dan ia pun meninggal. Saya dan rekan – rekan disuruh jalan jongkok. Lalu beberapa orang dari kami, termasuk saya, dibawa ke Kepolisian Ternate. Sampai akhirnya kami bebas dan balik kembali ke kampung,” bertutur Pak Pendeta, suatu sore di pelataran rumahnya di Desa Balisosang. Saat itu kalender Masehi menunjukkan bulan februari 2010, saya dan beberapa kawan menyempatkan diri berkunjung di rumahnya.

Pak Pendeta bertutur lugas, tanpa sedikitpun kesan heroisme, tergambar dari raut wajahnya yang teduh penuh ketegasan itu. Tidak seperti (maaf) sebagian kalangan “aktivis” muda (juga saya tentunya) yang berkisah tentang heroisme aksi jalanan kami. Ia hanya bertutur tentang hak rakyat yang mesti direbut, dan kewajiban Negara (state apparatus) yang mesti dituntut. “Karena kita adalah pemilik syah republic ini dan merupakan bagian dari terbentuknya sebuah Negara, bukan begitu ?”, demikian kalimat Tanya penuh ketegasan, yang sering ia sampaikan kepada kami.

Ketika menulis catatan Award ini, saya teringat akan kisah suku Inca, yang ditulis dengan apik oleh Kim Macquarrie, dalam bukunya; Hari – Hari Terakhir Bangsa Inca (Kompas Gramedia, 2010). Buku setebal 583 halaman itu, menceritakan cukup banyak kisah dari keterdesakan suku Inca oleh keserakahan Bangsa Spanyol atas kilauan emas di zaman itu. Ada banyak tokoh yang diulasnya, namun disini, saya hanya mengutip, bagaimana Manco Inca akhirnya menjadi kaisar boneka, setelah kakaknya Atahualpa, yang merupakan kaisar pertama meninggal dibunuh Spanyol. Ketika Manco Inca mulai resah dengan keberadaan Spanyol yang terus menerus menjarah emas suku Inca, serta ingin mempersunting istrinya, Sang Manco bertanya kepada Kompeni Spanyol, sampai kapan mereka akan berada di daerahnya. Kompeni Spanyol menjawab, “biar gunung dan daratan kalian berubah menjadi EMAS, kami tidak akan pernah puas dan kami tidak akan meninggalkan daerah ini”. Lalu sang Manco Inca bangkit melawan, mengusir para kompeni Spanyol yang menjajah dan menjarah emas dinegeri mereka. Meski akhirnya mereka tetap kalah dan hilang dari peradaban bumi, namun yang terpenting adalah mereka tak tinggal diam dalam penjajahan, mereka bangkit melawan.

Namun Pendeta bukanlah Manco Inca. Bapak Pendeta adalah seorang Putra Pagu, yang dilahirkan dengana nama Tjanje G. Namotemo, pada 6 maret 1954 di Desa Balisosang. Senantiasa memilih hidup dan mengabdi di tengah – tengah masyarakatnya. Membangun kebun kecil di pelataran rumahnya, agar fungsi tanah sebagai sang pemelihara kehidupan senantiasa menjadi makna siraman rohani kesehariannya. Menjadi Tokoh masyarakat, yang senantiasa teguh memperjuangkan permasalahan aras bawah rakyat Balisosang, dan mereka yang senantiasa dirampas haknya.

Saya tak mau lancang melampaui rasa kebersamaan Pak Pendeta dengan keluarganya. Tapi dalam beberapa sesi paruh waktu dalam kehidupan, kami sering berbincang, baik itu secara langsung, maupun via telpon karena terpisah jarak. Atas inisiatifnya, di bulan juni 2010, saya bersama beliau, serta dua orang kawan sempat ketemu dengan beberapa anggota legislative Halut di Tobelo untuk menyampaikan persoalan warga Balisosang. Beliau pula di bulan juni 2010, yang meminta WALHI MALUT untuk mengirimkan surat resmi untuk hearing dengan pihak legislative Halut, terkait persoalan warga Balisosang.

Pada tanggal 19 maret 2010, lewat telepon, ia menyampaikan tentang pipa tailing PT. Nusa Halmahera Mineral’s (NHM), yang terlepas dan menumpahkan limbah tailingnya, pada 18 juni 2010 pukul 19.00 malam – 08.00 WIT pagi hari. Beliau bersama para tokoh masyarakat serta aparat Desa akan mengirimkan surat protes ke Bupati Halmahera Utara. Dan surat itu kemudian dilayangkan pada tanggal 23 maret 2010, dengan nomor: 660.3/01/2010, yang ditandatangani oleh tokoh masyarakat serta aparat Desa Balisosang.

Pada bulan oktober 2010, Beliau mendapat undangan via WALHI MALUT, untuk hadir dalam salah satu event di Mataram, namun kesehatannya mulai menurun. Pak Pendeta tak bisa menghadiri event tersebut, karena harus istirahat di rumah sakit. Beliau tak pernah tahu, betapa di Mataram, Ia telah menjadi seorang sosok, yang ingin dijumpai oleh banyak pihak, tuk sekedar menimba pengalaman dari tutur kisahnya. Teringat, sejak saat itu, rumah sakit menjadi tempat langganan untuknya beristirahat, melawan penyakit yang terus menggerogoti paruh waktu hidupnya. Meski dalam keadaan terbaring sakit, Beliau masih menyempatkan waktu tuk berdiskusi pada tanggal 20 oktober 2011, terkait penyusunan surat protes atas pernyataan Mentri Lingkungan Hidup tentang NHM.

Pada tanggal 12 februari 2011, saat hari telah gelap, Pak Pendeta kembali menghubungi kami. Karena saat itu sedang ada sedikit kerjaan, saya langsung menjawab telponnya dengan mengucapkan Salam dalam Islam, Pak Pendeta menjawabnya juga dalam Islam. Sesaat saya sadar, lalu meminta maaf, karena sudah menjadi kebiasaan, beliau menjawabnya dengan ramah, “mengutip Gusdur, yang penting adalah maknanya,” ucap Pak Pendeta. Sederhana, namun bijak. Malam itu, beliau kembali mengabarkan tentang Pipa Tailing PT. NHM yang terlepas lagi untuk kali kedua, yang terjadi pada tanggal 3 februari 2011, pada jam 11 malam. Pak Pendeta terus mengabarkan kejadian – kejadian di kampung, yang merugikan masyarakatnya.
Pada bulan April 2011, dua orang kawan wartawan dari Harian Kompas dan Tempo, tertarik tuk mengangkat profil sang pendeta. Mereka ke Desa Balisosang, tapi tak menjumpainya, karena pada saat itu, beliau kembali harus beristirahat di Rumah Sakit Tobelo. Kawan wartawan dari Kompas, masih meneruskan upayanya untuk mewawancarai Sang Pendeta di Tobelo, namun mungkin karena nasibnya kurang beruntung, meski sudah di Tobelo, ia tak menjumpai Sang Pendeta. Bapak Pendeta Tjante yang penuh keikhlasan, tak pernah tahu, jika Ia telah menjadi seorang sosok. “Saya hanya mau bersama warga memperjuangkan hak kami,” demikian ucapnya, suatu ketika dipertengahan april 2011, saat ia harus ke Jakarta, untuk memeriksa kesehatannya. Saat itu, Beliau menjadi salah satu dari 3 perwakilan masyarakat lingkar tambang di Indonesia, yang diundang dalam even Public Hearing on CSR & ASEAN, pada tanggal 02 mei 2011 di Jakarta. Namun, event tersebut juga, tak bisa Ia hadiri, karena factor kesehatan yang sudah tidak memungkinkan.

Tanggal 03 juni 2011, dengan bahasa yang sudah semakin lemah, ia masih mau mengabarkan kepada kami, tentang pipa limbah NHM yang bocor untuk ketiga kalinya. Tanggal 4 juni 2011, kami masih berdiskusi dengan beliau terkait dengan kondisi warga dikampung, serta meminta mandat apa yang mesti dilakukan oleh WALHI MALUT. Surati Mentri Lingkungan Hidup, itu langkah yang mesti diambil. Tanggal 5 – 6 juni 2011, ketika Surat ke Mentri Lingkungan Hidup sudah selesai dan siap dikirimkan, Pak Pendeta sudah tak bisa lagi dihubungi. Jumat Siang, tanggal 10 juni 2011, kabar duka itu kami terima, Bapak Pendete Tjanje G. Namotemo telah kembali dengan kedamaian dalam pangkuan Bapa di Surga.

UNTUK SEGALA PERJUANGAN MU

Banyak kisah suram dan ketertindasan rakyat di lingkar investasi skala massive dan padat modal, yang tak terekspose ke public. Panjang pula kisah perjuangan mereka, hanya untuk sekedar meraih kedaulatan atas sumber – sumber penghidupan yang sehat dan bersih dari kotoran limbah. Namun, tak sedikit pula perjuangan itu menjadi bola panas yang asyik dimainkan oleh para elit dan orang tertentu, tuk meraih kemewahan pribadi. Inilah letak kelemahan mental inlander dari wajah negeri yang semakin rapuh dikuasai asing.

Namun, tidak buat Pendeta Tjanje G. Namotemo. Terlalu banyak fakta dan kisah perjuangannya bersama warga, yang tulus dan ikhlas tuk sekedar meraih kedaulatan atas sumber kehidupan. Ia tak pernah tahu, mungkin juga peduli, jika ia telah menjadi seorang sosok. Sosok Pejuang Lingkungan Hidup, dimata Berry Nahdian furqon (Direktur eksekutif Nasional WALHI), Riza Damanik (Sekjend Kiara), Kusnadi W Saputra (Sekjend SHI), Mba Alien (Dewan Nasional WALHI), serta kawan – kawan penggiat Lingkungan Hidup yang lain. Beliau hanyalah seorang Pendeta, yang senantiasa membangkitkan semangat perjuangan lewat Khotbah – Khotbahnya (pengakuan warga Balisosang 2 hari setelah kepergiannya).

Untuk segala perjuangan mu, penuh keikhlasan kami tundukkan badan. Selamat jalan Pejuang Lingkungan Hidup dan Hak asasi Manusia. Semoga semangat perjuangan mu terus mengalir pada darah generasi kami.

“Indonesiaku masih tegak, jelas bukan karena hasil karya para elit. Tetapi semua itu dilakukan atas nama orang tertindas, yang bernama rakyat. Lalu benarkah itu ?”, demikianlah tiga bait terakhir bahasa hati Ko Ipul yang tertoreh Atas Nama Rakyat. Pertanyaan bisu, butuh jawaban bisu. Wassalam.

.

MELEPAS GUNDAH

ternate 22 maret 2011

Dimulai dari bau bangkai tikus yang menyengat, lalu kadal dan kemudian lipan yang sengatannya cukup berbisa. Ruang kerja ku yang nyaman mulai menebarkan terror bau dan intimidasi ketakutan, yang berpengaruh signifikan terhadap rasa malas tuk menyelesaikan pekerjaan. Sebenarnya ruangan 3 x 4 ini cukup nyaman tuk menghasilkan hal-hal besar, namun jarang sekali kugunakan. Aku lebih sering nangkring di ruang rapat staf, sehingga ruangan kerja ini lebih banyak kosong dan tertutup.

Aku terangkan padamu, sesuai dengan prinsip dasar latihan menulis; seperti apa ruangan tempat ku merumuskan dan merampungkan pekerjaan-pekerjaan kantor. Seperti yang sudah ku kemukakan sebelumnya, ruangan ini memiliki ukuran 3x4 m, berisikan satu buah lemari, 2 meja dan satu kursi bos . Di dalam lemari yang terbuat dari kayu lapis (ampas kayu yang dimampatkan), sisa program LEAD-UNDP, berisikan arsip-arsip kerja lembaga. Diatasnya terdapat 3 file dokumen, yakni; ANTAM, WBN dan NHM. Diatas meja yang berada di depan pintu masuk, terdapat file-file arsip , serta 2 laptop yang telah almarhum.

Dimulai dari bau bangkai tikus yang menyengat, tulisan ini akhirnya nongol ke permukaan. Saya jadi teringat Interupsi Tan Malaka dalam Naar de ‘Republiek Indonesia’ cetakan pertama tahun 1924. “Kelahiran suatu pikiran sering menyamai kelahiran seorang anak. Ia didahului dengan penderitaan-penderitaan pembawa kelahirannya”, demikian bunyi ‘interupsi’ di pengantar buku Menuju Republik Indonesia yang cukup fenomenal itu. Gundah gulana, resah dan sesak menjadi barisan penyerang yang terkonsolidasi dengan apik merengsek batas ketentraman hari-hari ku. Sempat membuatku terpojok hingga se-bulan lamanya. Ketentramanku berontak, lahirlah melepas gundah, ternate 22 maret 2011.

Aku ingin bercerita lewat tulisan. Dapat kuprediksi, tulisan kali ini sulit tuk beraturan. Karena, yang kutulis adalah rekam pertarungan dan lompatan ide melawan realitas kemalasan yang suntuk. Menjadi tak beraturan karena, tak kuredam apa saja yang nongol atau sekedar numpang lewat di memoriku, saat jemari menari menekan tuts-tombol keyboard laptop yang adalah miliki Rio Gova. Ku akan berusaha memegang kendali diri agar tak mengedit atau menata tuk kerapian tulisan ini. Apa saja kan kutulis, sambil menanti jasa Ido yang sementara membeli 2 bungkus mi instan rebus dan sebungkus rokok, menggunakan motor Bongki yang baru hari ini ia gunakan ke kantor setelah sebulan di bawanya dari dealer.......(seterusnya rahasia internal walhi malut :)

MENOREH KIDUNG PUJIAN

(Catatan kecil untuk Kawan ku Eros)

Mari maknai kepergian itu…

Tumpukan kertas laporan dan Koran sore serta pagi berhamburan di atas meja. Saat itu pagi beranjak siang, ketika aku sementara menyelesaikan laporan terakhir untuk Eksekutif Nasional, yang selalu saja tertunda. Kabar dari seberang Pulau yang berjarak ratusan mil dari Ternate, terhembus sampai ke telinganya. “Ayahanda tercinta, telah lebih dulu meninggalkan kita…”, Jum’at 21 januari 2011, Pukul 10 pagi, barulah angin berhembus membawa duka itu hingga ke telinga ku dan kawan-kawan yang lain.

Aku tak pernah tahu, siapa manusia di muka bumi ini yang tak goyah ketika di ¼ pagi, saat impian dan kelelapan, senantiasa berkuasa penuh atas tubuh, mesti buyar oleh habari duka dari negeri seberang ? Aku hanya tahu, karena semuanya masih terekam hangat dalam memori ingatan ku. Tubuh ringkih ku lunglai. Bibir ku gemetar tanpa kata. Dan air terus mengalir dari kedua pelupuk mata ku, kala daku pun mengalaminya di tanggal 8 mei 2009, saat asar telah usai, dan temaram menggayut bumi.

Dari negeri seberang, yang berjarak ratusan mil, kita hanya mampu menghadirkan kembali masa-masa emas dulu, ketika kita riang dan ceria di atas pundaknya. Tersipu malu, kala dengan bangga Ia menceritakan kehebatan kita di hadapan teman-temannya. Lalu, merangkul kita dengan senyumannya yang hangat. Dia adalah panutan, dia juga adalah kebanggaan. Untuk itu, dia menjadi sangat layak tuk dikenang dan diceritakan kembali.

Dari jarak ratusan mil, hanya bayangan senyumannya, kala mata terkatup dan hembusan nafas terakhir, keluar, menari menuju Sang Kausa Prima, yang bisa kita rengkuh dalam alam hayal di negeri seberang. Sesal kah kita ? Sekuat tenaga, ku usaha tuk bijak menjawab TIDAK ! Daku senantiasa membiarkan air mata ini mengalir. Tak pernah ada secuil hasrat tuk membendungnya. Yang ku lakukan hanyalah mengekang diri tuk teriak mengobarkan rasa resah yang membuncah, menghimpit isi dada ku. Dalam diam, hanya terdengar getar bibir yang gemetar, Daku menangis !

Nietzche mengelaborasi manusia super dalam zarpach zaratustra nya. Tapi, sayang, filsafat itu terlampau tinggi tuk kupahami. Juga konsep manusia unggul versi Hitler sang Kopral Prusia yang berkumis Jojon itu. Aku hanya ingat, “Bulan bergerak tanpa berisik…, dan Tuhan tak senantiasa bersahabat dengan diam, meski terkadang Ia adalah Sang kebisuan…, kata Gunawan Muhamad. Yah, saat seperti ini, Sartre amat ku rindukan, meski tak ada secuil catatan sastranya yang sempat terekam dalam memori ku.

Dalam keyakinan Islam, Allah telah berkata, “Tiap-tiap yang hidup pasti merasakan mati” (Al-Imran, Surat 3, ayat 185). Sayang sungguh dimalang, dalam glamournya kehidupan, serta padatnya rutinitas keseharian, aku terkadang lupa dan menafikannya. Daku lebih sering pongah, melangkah di atas permukaan bumi. Menatap hidup seolah ta’kan berakhir. “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”, kata Khairil Anwar. Si ‘Anwar’ hanya ingin, dan keinginannya justru pupus di usia yang cukup dini.

Beberapa waktu diakhir kemarin, kusam kita dipertontonkan dengan parodi putusan kasus Gayus, yang diangkat oleh kantor berita asing Reuters dengan judul “Akhir Cerita Petugas Pajak Indonesia yang Korup dan Pengguna Rambut Palsu” (Kompas, Kamis 22 januari 2011). Kita juga sempat mendengar, kasak kusuk pelesiran para wakil rakyat ke luar negeri. Kita juga sempat melihat secara langsung, penggusuran rakyat di Tidore dan Ternate, juga di Jazirah tanah besar Halmahera. Yah, mereka punya kuasa. Dan senantiasa terlihat pongah diatas derita saudara yang lain.

Adalah Niccolo Machiavelli, tokoh antagonis yang digemasi, tapi juga digemari oleh para politikus kita. Seorang ilmuwan ulung yang melemparkan teori “menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan”. Machiavelli menganjurkan para politikus yang ingin memusatkan kekuasaan pada satu tangan, harus mematahkan semua kekuatan yang diduga akan menghambat karier kekuasaannya. Ia menasehati agar segala cara harus ditempuh, asal tujuan tercapai. Jasad sang ilmuwan kini telah tercerai berai, mungkin menjadi atom yang menempel di ujung rudal USA ketika menggempur Irak, atau mungkin pula telah menjadi mineral di perut bumi. Ku ulang lagi, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”, kata Khairil Anwar. Si ‘Anwar’ hanya ingin, dan keinginannya justru pupus di usia yang cukup dini.

Yah, fenomena glamour kehidupan, sering membuat daku lupa akan kematian. Jabatan, ketenaran, kemewahan, kemolekan dan aduhainya body wanita cantiQ, terkadang (atau mungkin lebih sering), membawaku pada hayalan dan kelakuan diri yang asing. Dengung ayat-ayat suci dari menara mesjid, dan panggilan takbir yang memecah angkasa, lebih sering menjadi “panggilan yang tak terjawab”, dalam keseharian ku. Maka, lemah lah sudah benteng iman, yang senantiasa Sang Ayah tanamkan semasa hidupnya. “Shalat – shalat lah kau, hai anakku, sebelum dikau di shalati. Dan Shalat lah dikau, hai anak ku, bukan untuk surga, tapi untuk ketetapan iman mu, agar tak mengambil hak orang !”

Kawan ku Eros yang baik. Kini mereka telah pergi. Bukan karena tak menyayangi kita, tapi karena itu adalah suatu kemestian. Tersisa kita yang masih hidup di ke fana’an ini, mari maknai kepergian itu. Tabea, Al-Fatiha untuk mereka semua yang telah lebih dulu mendahului kita. Amien. (* Itevsky, 22 januari 2011)

KELUH

Kosong. Ide melompong. Akhirnya barisan kata meluncur, dan tuts keyboard tertekan. ± 15 menit dalam kevakuman yang menjengkelkan. Diluar hujan masih deras membasuh kaki gamalama. Aliran listrik padam. Bongki dan masri lelap dalam gelap nan dingin yang memagut senja. Sesekali denting gitar dan suara baz mendez memecah kebuntuan. Satu paragraph telah usai, sementara arah belum jua tertuju, dan bentuk masih lah jauh dari samar.

Keluh. Tenggorokan ini tersekat. Dua bungkus rokok, telah habis menemani malam tadi. Kini bungkus ketiga, mulai masuk dan mengotori paru – paru yang sudah melewati paruh waktu ¼ abad. Bait kedua masih jua buram menggariskan langkah tuk mengarah pada sudut bahasan yang jelas. Seperti air, kubiarkan jemari ini mengalir, dan komat kamit bibir mengikuti irama kata. Aku menulis, karena merasa eksistensi tergerogoti oleh labelitas yang tak jua mampu kutuntaskan. Juga keluh atas kemalasan yang sudah melampaui batas control diri.

Dalam gelap sebuah bayang melintas. Kosong. Halusinasi mulai mendominasi. Tak ingin kubangkitkan hayal, karena bosan aku dengan kamuflase ruang semu. Tak mau ku cari topic, tuk sekedar memamerkan ketololan ku dalam memainkan irama kata. Laiknya biduanita, yang molek berlenggak lenggok, bermodal paras yang anggun dan body yang fiuhhh, menarik tatapan kaum pria, lalu menghantarkan mereka dalam buaian hayal yang mengawang. Kata yang berbaris dalam kalimat, dengan ramuan dan racikan sang penulis, mampu membuat nalar kita menghujam dasar terdalam dari imaji. Dan, bait tiga pun usai. Namun KELUH, belum jua mendapatkan arah dan bentuk.

Referensi bacaan semakin minim. Perbendaharaan kata, masihlah yang itu jua. Membaca tak lagi jadi kebiasaan. Kemalasan semakin liar menggerogoti ruang aktivitas keseharian. Eksistensi diri semakin pudar. Satu – satunya yang menopang, tersisa logika yang diandalkan. Sangat terasa, pisau analisis semakin tumpul. Karena landasan teori bertambah suram dan buram, beriring tak ada lagi asupan bacaan – bacaan baru. KELUH ! pada ini, aku hanya ingin mengeluh. Keluh akan stagnasi ide dan pengetahuan, yang lahir sebagai akibat dari kemalasan membaca dan berwacana. Mudah merewind kembali, bara ide itu nyala karena keberadaan tubuh dan diri ditengah – tengah basis bahasan. Ditengah – tengah para tani dan nelayan, senda gurau ditemani kopi serta ubi dan pisang goreng. Itulah factor utama yang membakar bara ide dan semangat tuk mempertajam pisau analisis, serta penambahan perbendaharaan kata dan wacana. Tidak hanya sekedar berhayal diruang 2 x 2, lalu menekan tuts guna menghadirkan barisan kata dalam kalimat yang mawujud menjadi satu tulisan tawaran ide.

Keluh. Dan hujan pun telah usai, seiring dengan Mendez yang pada akhirnya bosan atas sumbangnya suara sendiri. Baterei laptop, yang mengalirkan energy untuk seperangkat teknologi milik Rio, yang mungkin akan menjadi satu mujizat jika sekonyong – konyong aku terlempar ke zaman para nabi dengan benda ini ditangan, mulai mewarning, sebentar lagi ia padam. KELUH. Akhirnya ia padam. Ini energy tersisa. Mari kita belajar untuk memukul keluh, bangkitkan amarah, tuk ciptakan kecerdasan diri. EAuuuuuu. (Ternate, saptu 02 juli 2011)