Sabtu, 02 Juli 2011

MENOREH KIDUNG PUJIAN

(Catatan kecil untuk Kawan ku Eros)

Mari maknai kepergian itu…

Tumpukan kertas laporan dan Koran sore serta pagi berhamburan di atas meja. Saat itu pagi beranjak siang, ketika aku sementara menyelesaikan laporan terakhir untuk Eksekutif Nasional, yang selalu saja tertunda. Kabar dari seberang Pulau yang berjarak ratusan mil dari Ternate, terhembus sampai ke telinganya. “Ayahanda tercinta, telah lebih dulu meninggalkan kita…”, Jum’at 21 januari 2011, Pukul 10 pagi, barulah angin berhembus membawa duka itu hingga ke telinga ku dan kawan-kawan yang lain.

Aku tak pernah tahu, siapa manusia di muka bumi ini yang tak goyah ketika di ¼ pagi, saat impian dan kelelapan, senantiasa berkuasa penuh atas tubuh, mesti buyar oleh habari duka dari negeri seberang ? Aku hanya tahu, karena semuanya masih terekam hangat dalam memori ingatan ku. Tubuh ringkih ku lunglai. Bibir ku gemetar tanpa kata. Dan air terus mengalir dari kedua pelupuk mata ku, kala daku pun mengalaminya di tanggal 8 mei 2009, saat asar telah usai, dan temaram menggayut bumi.

Dari negeri seberang, yang berjarak ratusan mil, kita hanya mampu menghadirkan kembali masa-masa emas dulu, ketika kita riang dan ceria di atas pundaknya. Tersipu malu, kala dengan bangga Ia menceritakan kehebatan kita di hadapan teman-temannya. Lalu, merangkul kita dengan senyumannya yang hangat. Dia adalah panutan, dia juga adalah kebanggaan. Untuk itu, dia menjadi sangat layak tuk dikenang dan diceritakan kembali.

Dari jarak ratusan mil, hanya bayangan senyumannya, kala mata terkatup dan hembusan nafas terakhir, keluar, menari menuju Sang Kausa Prima, yang bisa kita rengkuh dalam alam hayal di negeri seberang. Sesal kah kita ? Sekuat tenaga, ku usaha tuk bijak menjawab TIDAK ! Daku senantiasa membiarkan air mata ini mengalir. Tak pernah ada secuil hasrat tuk membendungnya. Yang ku lakukan hanyalah mengekang diri tuk teriak mengobarkan rasa resah yang membuncah, menghimpit isi dada ku. Dalam diam, hanya terdengar getar bibir yang gemetar, Daku menangis !

Nietzche mengelaborasi manusia super dalam zarpach zaratustra nya. Tapi, sayang, filsafat itu terlampau tinggi tuk kupahami. Juga konsep manusia unggul versi Hitler sang Kopral Prusia yang berkumis Jojon itu. Aku hanya ingat, “Bulan bergerak tanpa berisik…, dan Tuhan tak senantiasa bersahabat dengan diam, meski terkadang Ia adalah Sang kebisuan…, kata Gunawan Muhamad. Yah, saat seperti ini, Sartre amat ku rindukan, meski tak ada secuil catatan sastranya yang sempat terekam dalam memori ku.

Dalam keyakinan Islam, Allah telah berkata, “Tiap-tiap yang hidup pasti merasakan mati” (Al-Imran, Surat 3, ayat 185). Sayang sungguh dimalang, dalam glamournya kehidupan, serta padatnya rutinitas keseharian, aku terkadang lupa dan menafikannya. Daku lebih sering pongah, melangkah di atas permukaan bumi. Menatap hidup seolah ta’kan berakhir. “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”, kata Khairil Anwar. Si ‘Anwar’ hanya ingin, dan keinginannya justru pupus di usia yang cukup dini.

Beberapa waktu diakhir kemarin, kusam kita dipertontonkan dengan parodi putusan kasus Gayus, yang diangkat oleh kantor berita asing Reuters dengan judul “Akhir Cerita Petugas Pajak Indonesia yang Korup dan Pengguna Rambut Palsu” (Kompas, Kamis 22 januari 2011). Kita juga sempat mendengar, kasak kusuk pelesiran para wakil rakyat ke luar negeri. Kita juga sempat melihat secara langsung, penggusuran rakyat di Tidore dan Ternate, juga di Jazirah tanah besar Halmahera. Yah, mereka punya kuasa. Dan senantiasa terlihat pongah diatas derita saudara yang lain.

Adalah Niccolo Machiavelli, tokoh antagonis yang digemasi, tapi juga digemari oleh para politikus kita. Seorang ilmuwan ulung yang melemparkan teori “menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan”. Machiavelli menganjurkan para politikus yang ingin memusatkan kekuasaan pada satu tangan, harus mematahkan semua kekuatan yang diduga akan menghambat karier kekuasaannya. Ia menasehati agar segala cara harus ditempuh, asal tujuan tercapai. Jasad sang ilmuwan kini telah tercerai berai, mungkin menjadi atom yang menempel di ujung rudal USA ketika menggempur Irak, atau mungkin pula telah menjadi mineral di perut bumi. Ku ulang lagi, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi”, kata Khairil Anwar. Si ‘Anwar’ hanya ingin, dan keinginannya justru pupus di usia yang cukup dini.

Yah, fenomena glamour kehidupan, sering membuat daku lupa akan kematian. Jabatan, ketenaran, kemewahan, kemolekan dan aduhainya body wanita cantiQ, terkadang (atau mungkin lebih sering), membawaku pada hayalan dan kelakuan diri yang asing. Dengung ayat-ayat suci dari menara mesjid, dan panggilan takbir yang memecah angkasa, lebih sering menjadi “panggilan yang tak terjawab”, dalam keseharian ku. Maka, lemah lah sudah benteng iman, yang senantiasa Sang Ayah tanamkan semasa hidupnya. “Shalat – shalat lah kau, hai anakku, sebelum dikau di shalati. Dan Shalat lah dikau, hai anak ku, bukan untuk surga, tapi untuk ketetapan iman mu, agar tak mengambil hak orang !”

Kawan ku Eros yang baik. Kini mereka telah pergi. Bukan karena tak menyayangi kita, tapi karena itu adalah suatu kemestian. Tersisa kita yang masih hidup di ke fana’an ini, mari maknai kepergian itu. Tabea, Al-Fatiha untuk mereka semua yang telah lebih dulu mendahului kita. Amien. (* Itevsky, 22 januari 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar