Senin, 06 Mei 2013

KALAODI


Perkampungan Kalaodi yang berada di daratan tinggi Pulau Tidore

Berada di ketinggian ± 900 mdpl, terdapat pemukiman penduduk yang masih hidup bersandar pada ritual budaya dan keasrian alam. Hutan rimbun yang rapat, disela-sela tanaman agroforestry, seperti pala, cengkeh dan durian senantiasa menjadi pemandangan yang indah ketika kita menginjakkan kaki di pemukiman ini. Kalaodi, demikian nama kampung tersebut, berada di Pulau Tidore – Maluku Utara, yang menurut beberapa tetua kampung berasal dari kata SeKalaodi yang dimaknai ‘memberikan petunjuk atau jalan yang benar’.

Kalaodi yang memiliki luas wilayah 8 x 8 km, pada tahun 2012 didiami oleh 454 penduduk, dengan 105 kepala keluarga, dimana 85% adalah petani kebun. Terdapat empat dusun, yakni RT I Dola sebagai pusat pemerintahan, RT II Kola berada di sebelah barat, RT III Golili di sebelah utara, dan RT IV Suwom di sebelah timur. Selain pemerintahan negara, hidup dan berlaku juga sistim pemerintahan adat yang dipimpin oleh seorang Sowohi atau pimpinan adat. Tradisi upacara adat dan kearifan budaya yang masih hidup serta mengakar kuat dalam keseharian warga, menjadi landasan realita ditemukannya struktur kelembagaan adat dan tatasistem nilai budaya di Kalaodi. 

Upacara adat yang masih dilaksanakan adalah Paca Goya, atau pembersihan tempat keramat, yang dipimpin oleh Suwohi. Tiga hari selama prosesing upacara berlangsung, Kalaodi dalam keadaan hening, tanpa bunyi-bunyian, termasuk suara kendaraan bermotor. Paca Goya dilaksanakan berdasarkan niatan warga kampung. Biasanya setelah usai panen, sebagai wujud syukur atas limpahan berkat yang diterima.

Ada juga tradisi gotongroyong yang disebut Bari, Marong, dan Galasi. Ungkapan Bari  digunakan secara umum untuk gotongroyong dalam segala hal, mulai dari pembukaan lahan perkebunan, membangun rumah dan yang lain. Marong merupakan kelompok kerja dalam pembukaan lahan kebun. Galasi merupakan gotong royong pembukaan lahan kebun dengan menggunakan sistim hitungan jam pasir (pasir sangrai yang diisi dalam botol seperti hitungan waktu zaman dulu). Jika pasir di bagian botol atas sudah kosong, maka pekerjaan dinyatakan selesai.

Penghargaan terhadap struktur lembaga adat, melahirkan harmonisasi kehidupan antara warga Kalaodi dan alam sekitar. Pelarangan penebangan pohon dan penggundulan hutan karena bisa berdampak pada erosi dan banjir di wilayah pesisir Tidore, yang di cetuskan oleh pemerintah desa sejak tahun 1974, diperkuat oleh bobeto adat. Bobeto merupakan fatwa, perjanjian, atau sumpah yang dikeluarkan oleh struktur lembaga adat yang ada, dimana sangat ditaati sebagai hukum tetap yang tak bisa dilanggar. Sejak itu, proses pembukaan hutan untuk lahan perkebunan di Kalaodi, setelah pembersihan, diwajibkan untuk menanam tanaman tahunan lebih dulu, seperti pala dan cengkeh sebelum menanam palawija. 

Potensi sumberdaya alam yang dimiliki oleh kelurahan Kalaodi pada tahun 2012 berdasarkan luas tanaman pangan, meliputi jagung seluas 6 Ha dengan hasil 1,5 Ton/Ha, kacang panjang 02, Ha dengan hasil 0,5 Ton/Ha, ubi kayu dengan luas 6 Ha dengan hasil 10 Ton/Ha, luas lahan untuk cabe 1 Ha dengan hasil 2,5 Ton/Ha, bawang merah dengan luas lahan 03 Ha dengan hasil 1,5 Ton/Ha, lahan untuk tanaman tomat 1,5 Ha dengan hasil 1,5 Ton/Ha, ketimun 0,5 Ha dengan hasil 1 Ton/Ha serta sayur lilin 4 Ha dengan hasil 1 Ton/Ha.

Selain itu, ada pula komoditas buah-buahan diantaranya mangga 2 Ha dengan hasil 3 Ton/Ha, durian 35 Ha dengan hasil 3 Ton/Ha, sedangkan luas tanaman perkebunan diantaranya kelapa 3 Ha, kebun pala 30 Ha sedangkan cengkeh 67 Ha. Untuk potensi lainnya bamboo dengan luas lahan 17 Ha, enau dengan luas lahan 15 Ha sedangkan melinjo seluas 15 Ha.

Sistim pengelolaan perkebunan di Kalaodi, terbagii menjadi lahan perkebunan desa, perkebunan pemuda, dan perkebunan warga. Untuk kebutuhan pembangunan desa non alokasi anggaran pemerintah, seperti pembangunan pagar kampung merupakan sumbangsih hasil dari kebun pemuda. 

Kalaodi sejak 1960-an, telah memperhitungkan persoalan keterbatasan lahan akibat dari penambahan jumlah penduduk, sehingga sebagian warga dipindahkan ke beberapa tempat, baik di Pulau Tidore sendiri, maupun di daratan Halmahera. Perpindahan ini berlandas pada perintah Sultan Tidore saat itu, agar warga membuka lahan pemukiman dan perkebunan baru, sebagai ruang produktifitas ekonomi, selain untuk menjaga kelestarian alam di Kalaodi. Perpindahan warga berdasarkan kesepakatan marga dilakukan dengan sangat sistimatis, dimana tiap keluarga harus tersisa satu yang tetap berdomisili di Kalaodi. Dengan demikian, “pohon turunan” keluarga, tetap terjaga di kampung tersebut.

Kearifan dan keserasian hidup antara manusia dengan alam yang terdapat di Kalaodi ini, menjadi faktor pendorong yang menggerakkan Kelompok Sahabat Alam, salah satu Organisasi Non Pemerintah Maluku Utara yang berdomisili di Tidore, melakukan pendampingan dan belajar bersama warga sejak tahun 2010. Proses belajar bersama ini kemudian menjadi putaran diskusi di WALHI MALUKU UTARA. 

Letak Kalaodi yang berada di punggungan bukit sebuah pulau kecil, dengan hutan yang masih padat, serta ketersediaan air melimpah, tentu memiliki peranan yang sangat penting dalam konsep bioregion (hulu dan hilir). Tradisi budaya yang masih hidup dan berjalan hingga kini, ditengah terpaan arus modernisasi zaman, ketika hutan dan bahan tambang menjadi sector primadona pembangunan pemerintah, Kalaodi hadir sebagai antithesis bahan pembelajaran untuk penyelamatan hutan dan lingkungan hidup di Maluku Utara- Indonesia - maupun global. Bahwa masyarakat yang hidup di lingkar hutan, ternyata memiliki kearifan sendiri dalam menjaga tatanan sistem ekologi yang ada.

DAMAI PAPUA KU

Papua, masih merupakan pengalihan isyu yang seksi dari rezim ke rezim (kecuali kepemimpinan Gusdur). Gusdur pada masa kepemimpinannya, berusaha menyatukan pecahan rasa yang selama 32 tahun diciptakan oleh rezim otoriter Suharto, dengan langkah damai dan persuasif. Sayangnya terlalu banyak faksi, sehingga mudah dipecah belah dengan menyulut rasa perbedaan, yang telah sekian lama terpendam. Amarah dan amuk massa menjadi alasan untuk kembalinya proses represifitas itu dimainkan kembali di tanah Papua. dan Gusdur, Sang Fenomenal itu pun harus ditumbangkan.
Jika Papua terus saja menjadi objek pengalihan isyu atas kebobrokan sistim kepemimpinan di negri ini, kuyakin suatu saat tak mampu dimanage bara sekam itu. Persatuan memang seolah sulit tergapai di bangsa Papua, namun bukan berarti momentum takkan tercipta sebagai triger tuk menuju ke arah sana. 
Saat itu terjadi, dan bisa jadi dengan melihat kondisi Indonesia yang semakin sakit ini, momentum itu kan datang jua, lalu masih adakah kata sakti NKRI itu ?

Damai Papua ku, jangan kalian sakiti yang tak mengerti, mereka hanya mencari hidup, walau rambut dan kulit mereka berbeda dengan kita, mereka juga bagian dari skenario segelintir orang yang duduk nyaman merampok kekayaan SDA kita di pusat kekuasaan, baik di Jakarta maupun di tanah Papua sendiri.
Mereka itulah musuh yang sebenar-benarnya musuh yang harus kita hancur leburkan !