Perkampungan Kalaodi yang berada di daratan tinggi Pulau Tidore |
Berada
di ketinggian ± 900 mdpl, terdapat pemukiman penduduk yang masih hidup
bersandar pada ritual budaya dan keasrian alam. Hutan rimbun yang rapat,
disela-sela tanaman agroforestry,
seperti pala, cengkeh dan durian senantiasa menjadi pemandangan yang indah
ketika kita menginjakkan kaki di pemukiman ini. Kalaodi, demikian nama kampung
tersebut, berada di Pulau Tidore – Maluku Utara, yang menurut beberapa tetua
kampung berasal dari kata SeKalaodi
yang dimaknai ‘memberikan petunjuk atau jalan yang benar’.
Kalaodi
yang memiliki luas wilayah 8 x 8 km, pada tahun 2012 didiami oleh 454 penduduk,
dengan 105 kepala keluarga, dimana 85% adalah petani kebun. Terdapat empat
dusun, yakni RT I Dola sebagai pusat
pemerintahan, RT II Kola berada di
sebelah barat, RT III Golili di
sebelah utara, dan RT IV Suwom di
sebelah timur. Selain pemerintahan negara, hidup dan berlaku juga sistim
pemerintahan adat yang dipimpin oleh seorang Sowohi atau pimpinan adat. Tradisi upacara adat dan kearifan budaya
yang masih hidup serta mengakar kuat dalam keseharian warga, menjadi landasan
realita ditemukannya struktur kelembagaan adat dan tatasistem nilai budaya di
Kalaodi.
Upacara
adat yang masih dilaksanakan adalah Paca
Goya, atau pembersihan tempat keramat, yang dipimpin oleh Suwohi. Tiga hari
selama prosesing upacara berlangsung, Kalaodi dalam keadaan hening, tanpa
bunyi-bunyian, termasuk suara kendaraan bermotor. Paca Goya dilaksanakan
berdasarkan niatan warga kampung. Biasanya setelah usai panen, sebagai wujud
syukur atas limpahan berkat yang diterima.
Ada
juga tradisi gotongroyong yang disebut Bari,
Marong, dan Galasi. Ungkapan Bari digunakan secara umum untuk gotongroyong
dalam segala hal, mulai dari pembukaan lahan perkebunan, membangun rumah dan
yang lain. Marong merupakan kelompok
kerja
dalam pembukaan lahan kebun. Galasi
merupakan gotong royong pembukaan lahan kebun dengan menggunakan sistim
hitungan jam pasir (pasir sangrai yang diisi dalam botol seperti hitungan waktu
zaman dulu). Jika pasir di bagian botol atas sudah kosong, maka pekerjaan
dinyatakan selesai.
Penghargaan
terhadap struktur lembaga adat, melahirkan harmonisasi kehidupan antara warga
Kalaodi dan alam sekitar. Pelarangan penebangan pohon dan penggundulan hutan
karena bisa berdampak pada erosi dan banjir di wilayah pesisir Tidore, yang di
cetuskan oleh pemerintah desa sejak tahun 1974, diperkuat oleh bobeto adat. Bobeto merupakan fatwa, perjanjian, atau sumpah yang dikeluarkan
oleh struktur lembaga adat yang ada, dimana sangat ditaati sebagai hukum tetap
yang tak bisa dilanggar. Sejak itu, proses pembukaan hutan untuk lahan
perkebunan di Kalaodi, setelah pembersihan, diwajibkan untuk menanam tanaman
tahunan lebih dulu, seperti pala dan cengkeh sebelum menanam palawija.
Potensi
sumberdaya alam yang dimiliki oleh kelurahan Kalaodi pada tahun 2012
berdasarkan luas tanaman pangan, meliputi jagung seluas 6 Ha dengan hasil 1,5
Ton/Ha, kacang panjang 02, Ha dengan hasil 0,5 Ton/Ha, ubi kayu dengan luas 6
Ha dengan hasil 10 Ton/Ha, luas lahan untuk cabe 1 Ha dengan hasil 2,5 Ton/Ha,
bawang merah dengan luas lahan 03 Ha dengan hasil 1,5 Ton/Ha, lahan untuk
tanaman tomat 1,5 Ha dengan hasil 1,5 Ton/Ha, ketimun 0,5 Ha dengan hasil 1
Ton/Ha serta sayur lilin 4 Ha dengan hasil 1 Ton/Ha.
Selain itu, ada pula komoditas buah-buahan
diantaranya mangga 2 Ha dengan hasil 3 Ton/Ha, durian 35 Ha dengan hasil 3
Ton/Ha, sedangkan luas tanaman perkebunan diantaranya kelapa 3 Ha, kebun pala
30 Ha sedangkan cengkeh 67 Ha. Untuk potensi lainnya bamboo dengan luas lahan
17 Ha, enau dengan luas lahan 15 Ha sedangkan melinjo seluas 15 Ha.
Sistim
pengelolaan perkebunan di Kalaodi, terbagii menjadi lahan perkebunan desa,
perkebunan pemuda, dan perkebunan warga. Untuk kebutuhan pembangunan desa
non
alokasi anggaran pemerintah, seperti pembangunan pagar kampung merupakan
sumbangsih hasil dari kebun pemuda.
Kalaodi
sejak 1960-an, telah memperhitungkan persoalan keterbatasan lahan akibat dari
penambahan jumlah penduduk, sehingga sebagian warga dipindahkan ke beberapa
tempat, baik di Pulau Tidore sendiri, maupun di daratan Halmahera. Perpindahan
ini berlandas pada perintah Sultan Tidore saat itu, agar warga membuka lahan
pemukiman dan perkebunan baru, sebagai ruang produktifitas ekonomi, selain
untuk menjaga kelestarian alam di Kalaodi. Perpindahan warga berdasarkan
kesepakatan marga dilakukan dengan
sangat sistimatis, dimana tiap keluarga harus tersisa satu yang tetap
berdomisili di Kalaodi. Dengan demikian, “pohon turunan” keluarga, tetap
terjaga di kampung tersebut.
Kearifan
dan keserasian hidup antara manusia dengan alam yang terdapat di Kalaodi ini,
menjadi faktor pendorong yang menggerakkan Kelompok Sahabat Alam, salah satu
Organisasi Non Pemerintah Maluku Utara yang berdomisili di Tidore, melakukan
pendampingan dan belajar bersama warga sejak tahun 2010. Proses belajar bersama
ini kemudian menjadi putaran diskusi di WALHI MALUKU UTARA.
Letak
Kalaodi yang berada di punggungan bukit sebuah pulau kecil, dengan hutan yang
masih padat, serta ketersediaan air melimpah, tentu memiliki peranan yang
sangat penting dalam konsep bioregion (hulu dan hilir). Tradisi budaya yang
masih hidup dan berjalan hingga kini, ditengah terpaan arus modernisasi zaman,
ketika hutan dan bahan tambang menjadi sector primadona pembangunan pemerintah,
Kalaodi hadir sebagai antithesis bahan pembelajaran untuk penyelamatan hutan
dan lingkungan hidup di Maluku Utara- Indonesia - maupun global. Bahwa
masyarakat yang hidup di lingkar hutan, ternyata memiliki kearifan sendiri
dalam menjaga tatanan sistem ekologi yang ada.