Jumat, 29 Juli 2011

TakuT

Tumpukan majalah Tempo, yang telah rapi ditata oleh Dino diatas meja kerjaku, tak serapi isi kepala yang semakin liar menerawang dalam ketakutan. Takut adalah balance keberanian. Dan, memandang hidup untuk beberapa waktu kedepan, balance keberanian itu, senantiasa menghantui detak nadi keseharianku.

"Selamat datang di dunia nyata", demikian kata seorang kawan, usai kuucapkan ijab kabul pada 24 juli 2010, di kediaman orang tua istriku, kala itu. Ya, dunia nyata, tak senantiasa seirama dengan alam hayal. Ia-alam nyata itu, memiliki ritmenya sendiri. Dengan segala kemajemukannya, lebih sering menjungkir-balikkan impian dan harapan yang dibangun. Alam nyata, senantiasa butuh kesabaran, keteguhan dan gerakan tuk menembus labirin kehidupan.

Takut, menjadi lebih sering hadir membayangi rasa dalam jiwa-jiwa kerdilku. Takut-ku, bukan karena rekening gendut kepala daerah dengan sketsa sosok berpakaian pejabat pemerintah yang menggenggam celengan babi buntal, pada cover depan majalah Tempo edisi 25-31 juli 2011. Takut ku-signifikan bedanya dengan itu. Berbeda pula dengan ketakutan dipecat Golkar karena mendukung Nasdem. Beda, karena aku tak mahfum politik praktis, juga tak jadi bagian atas kedua dagelan itu. Aku bagian yang terlepas dari keduanya, namun merasa takut, sama seperti substansi yang dikejar oleh kedua judul berita itu.

Ketenarankah ? Atau, kekayaan ? - juga bukan keduanya. Ketakutan yang membayangi, adalah ketakutan tak memiliki alat tukar dalam hubungan sosial balas jasa. Takut-ku, takut semu. Takut kehilangan esensi makna atas kata tanggung jawab-sebagai ini, sebagai itu, dan sebagai bagai lainnya. Takut-ku, takut yang hadir membayang karena undangan dari rasa khawatir menjalani hidup di waktu muka. Takutku-takut akan bayang-bayang masa semu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar