Jumat, 29 Juli 2011

- SAKiT -

Senantiasa kubaca, dan kubaca setiap keluh itu. Tergambar dalam tiap helaan kata yang berhembus membisikkan sakit. Terkapar dalam selimut yang membaluti tubuh lemah, kau senantiasa bernyanyi tentang harapan hati. Juga galau yang terpendam. Sakit itu membunuh asa, tapi tak mematikan jiwa. Demikian pula cinta.

Hujan membasuh daratan tempatku berdiam malam ini. Malam dimana aku membaca guratan itu. Di seberang, lantunan nada dan suara Iwan Fals dan Fadli Padi memecah kebisuan. Temui cinta, lepaskan rasa.

Ingin rasanya berlagak bak seorang nabi, menuntun umatnya ke jalan yang ia yakini sebagai ruang kebenaran. Namun, tak cukup teori dan pengetahuan, serta tak punya pula diriku akan kitab yang disucikan, pula kalimat bijak dan fatwa penunjang yang menunjang daku tuk berlagak. Yang kupunya hanyalah hati, melonjak menari dalam kebebasan. Melihat, mengamati, lalu menuliskannya kembali. Seperti malam ini, melihat catatan keluh mu itu, ingin rasanya ku menjadi seorang nabi.

Sakit memang terkadang membuat kita apatis memandang hidup. Demikian pula atas cinta yang mulai menjauh. Sang ego senantiasa menguasai diri. Penguasaan yang sering kita nafikkan keberadaannya. Ketika kita lemah, karena eksternality diri, yang menopang bagian jiwa kita berlalu dari keseharian dan kebersamaan, sang ego kan berontak, menjatuhkan kita sampai pada titik kesedihan yang tak terperi. Ternyata rasa cinta dan kepemilikan, bukanlah kita peruntukkan pada bagian hidup yang terpisah dari internal diri, melainkan rasa yang mesti hadir akibat tuntutan ego. Kita mencintai diri kita sendiri, yang tak mau lemah dan kehilangan kepemilikan. Sakit itu, menjadi sakit diri yang tak ingin ditinggalkan olehnya.

Mungkin tidak untuk dikau, yang saat itu terbaring lemah di pelataran ruang ber cat putih, saat para pekerja berseragam, mulai mengutak - atik tubuh lemahmu. Imajimu berkisah, kau tak kan lagi memilikinya, karena terpuruk dalam sakit yang terus menggerogoti paruh waktu hidup. Mencuri sebagian harta tubuh, sebagai bagian dari identitas kewanita-an. Imajimu melahirkan goresan keluh, dan tanpa disengaja aku membacanya.

Satu yang kukagumi, kau terus menulis. Menulis dengan wajah yang senyum, meski hati galau dalam ringisan nasib. Temui cinta, lepaskan rasa. Temui cinta dalam dirimu, dan lepaskanlah rasa. Sebab, sang cinta yang menyakiti, senantiasa bersembunyi dengan tenang dalam internality jiwa. Kenyataan itu pahit, kenyataan itu sangatlah pahit...teriak Iwan Fals dalam sesuatu yang tertunda..., namun tak senantiasa mesti terus membuat kita terpuruk dalam keluh...

--------------------------- Kaki Gamalama yang basah di gerbang ramadan 30 juli 2011 (Itevsky*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar