Senin, 04 Juni 2012

MINGGU, 22 APRIL 2012

Minggu, 22 april 2012 pukul 08.00 wita, beberapa kawan masih terlelap, saat aku tersadar dari tidur malamku. Di sampingku, Lita tengah sibuk mempersiapkan alat mandinya. Pintu terbuka, Dino menampakkan wajahnya yang terlihat bingung, mungkin karena sendiri sejak pagi tadi. Dino memang yang paling dini terbangun sejak dulu. berbeda dengan 10 orang lainnya dalam rombongan Walhi Malut kali ini, termasuk juga diriku. Ido, Iji, Bongki, Mendes, alen dan Sarfan yang paling hobi menghabiskan umurnya di tempat tidur. Mereka tahan tidur berjam-jam, bahkan baru bangun sekalipun, mereka bisa kembali terlelap, untuk waktu yang cukup panjang. Ini salah satu faktor, kenapa Maluku Utara jarang dihitung dikancah pergerakan nasional. sebagian aktivisnya lebih senang membangun hayalan lewat mimpi di atas kasur.

Hal yang paling meresahkanku saat-saat diatas kapal adalah, waktu bangun tidur dan harus melakukan rutunitas mandi serta melepaskan kotoran tubuh. Kamar mandi dan WC di kapal ini sangat jauh dari kelayakan. Pintunya banyak yang rusak, sementara di dek 2, penumpang tak lagi peduli soal kamar mandi untuk wanita maupun pria. semua bercampur baur. dengan kondisi pintu yang tak bisa terkunci, sangat mengganggu kenyamanan orang yang akan melakukan ritual bersih tubuhnya. Sangat dipahami, persoalan ini bukan semata kelalaian pihak pengelola jasa perhubungan laut, tapi menurut amatanku, tingkat kesadaran kita sebagianjk penduduk Indonesia juga yang masih lemah, dalam hal merawat fasilitas publik. Selain kotor dan sering mampet, di kamar mandi juga ramai terjadi pencurian barang. Hal ini, yang membuat Mualim satu senantiasa tak bosan memperingatkan kepada penumpang untuk berhati-hati menjaga barang bawaannya. Pencurian di atas kapal juga cukup tinggi.

Usai mandi, aku bergabung dengan Lita, Dino, juga Bongki, yang telah santai menikmati laut di dek 7 bagian luar. Prediksiku, saat ini kapal Sinabung yang kami tumpangi telah berada di perairan Gorontalo. Karena telah kehabisan kaos, akhirnya kugunakan kaos biru bertuliskan WALHI  di dada, yang adalah milik istriku Lita. Sejak keberangkatan kami dari Balikpapan, kuperhatikan ada 7 orang dari kami yang tak pernah mengganti baju dibadannya. Mereka adalah, Iji, Alen, Ical, Mendes, Dino, Ido dan Sarfan. Baju yang mereka kenakan tak pernah berganti hingga kutemui pagi ini, selalu kostum Merah Walhi yang berisikan pesan di belakangnya, "Air - Energy - Pangan - Untuk Sebesar besarnya Kemakmuran Rakyat". Kembali pada diriku yang sedang menghadapi amukan Lita karena menggunakan kaos Walhi miliknya. Dengan muka tak berdosa, akhirnya kulepaskan kaos biru tersebut (karena memang sengaja mau kupamerkan otot dada dan perutku yang sixpack di muka publik, hahae :). Akhirnya akupun turut bergabung dalam barisan "Walhi Merah" pimpinan Iji. Barisan kaos "bau" yang telah 5 hari menempel di badan.

Pukul 09.20, Mendes masih terlelap layaknya sapi potong, demikian pula Eros, Sarfan, Ido dan Tuty. Sementara Aku, Lita, Dino, Iji dan Alen bersepakat menikmati pagi dengan secangkir kopi manis di ruang kavetaria dek 7 bagian belakang. Di kejauhan terlihat hutan yang gundul dan galian tambang di daratan panjang Pulau Sulawesi bagian Utara. 3 orang petugas kapal datang menghampiri kami, memeriksa tiket. Bersamaan dengan itu, di bagian belakang kanan kapal, satu perahu katinting muatan 2 orang sementara berjibaku dengan hempasan ombak dari KM Sinabung yang kami tumpangi. "Luarbiasa nelayan kita ini, begitu jauh mereka harus mengais rejeki, berjudi dengan laut, untuk menyediakan sumber protein di meja makan kita", celoteh Lita atas fenomena katinting tadi. Daratan cukuplah jauh dari posisi keberadaan kapal kami. "Mereka memang tangguh", ucap Iji menambahkan.

Kavetaria mulai ramai dengan kehadiran Eros dan Ical yang sudah terlihat segar usai mandi. Cerita tentang hari bumi mulai berkembang tanpa arah, karena Kartini pun ingin mengambil peran. Dino mengusulkan untuk menulis Propaganda di karung putih yang menjadialas tidur kami, kemudian berkeliling kapal. Lain lagi usulan Lita, menurutnya lebih baik kita minta ijin untuk menggunakan corong informasi, menyampaikan pesan-pesan tentang hari bumi, dan rusaknya ekologi. Hampir semua Kru kapal, termasuk Kapten dan Mualim hingga dokter di Poliklinik telah tahu, bahwa dalam pelayaran kali ini, terdapat rombongan penggiat Lingkungan Hidup dari Maluku Utara (sesekali berlagak besar dengan Walhi kan boleh juga to, hahae :). Lita dan Tuty bahkan diijinkan masuk ke ruang kemudi, yang aksesnya sangat terbatas bagi penumpang. Berdiskusi dengan kapten dan Mualim tentang Walhi, juga tentang hal ihwal bagian dalam ruang kemudi di anjungan kapal. Tapi, kuyakin apapun diskusi tentang hari bumi di ruang kavetaria ini, takkan berakhir pada langkah nyata aksi praksis diatas kapal.

"Ironisnya, Dinosaurus musnah karena faktor eksternal dirinya, kehidupan manusia terancam musnah karena sistim ekonominya sendiri (ekonomi kapital)", demikian penggalan status FB kawanku Pius Ginting pagi ini yang menggugat kalimat "Bumi makin tua dan Rusak adalah tidak tepat". Kawanku yang satu ini, memang luarbiasa kritis dan substantif dalam perspektif KeWalhi-an dalam memandang setiap moment.

Cuaca disebelah kanan kapal terlihat mendung, sementara di sisi kiri yang adalah bagian daratan Sulawesi, sangat terik dengan sengatan matahari. Suhu di kavetaria dek 7 mulai tak nyaman. Dino, Iji, Ical dan Alen memilih kembali ke basecamp, sementara aku, Eros dan Lita masih bertahan dengan suasana kafetaria yang mulai riuh dengan segala jenis lagu, layaknya pasar musik di stasiun 45 Manado. Mendes bergabung dengan kami bertiga. Rambut kribonya tetap tak rapi meski telah usai mandi, matanyapun masih terlihat merah :). Mendes hadir tidak untuk berdiskusi soal Hari Bumi yang jatuh hari ini, atau Hari Kartini yang jatuh hari kemarin, tapi sibuk menanyakan tawaran informasi kapal tentang makan siang :). Bukan Mendes tak peduli terhadap hari Bumi,tapi karena memang ia tak pernah tahu kapan hari lingkungan hidup, hari bumi, dan perayaan hari-hari lingkungan lainnya.

Tapi sejujurnya, bukan hanya Mendes, tapi semua yang ada dalam rombongan Walhi Malut kali ini tak mengetahuinya, selain aku dan Lita yang sudah sejak zaman kuliah dulu merayakannya dengan aksi-aksi jalanan. Hal ini menjadi wajar Karena mereka semua belum lama bersentuhan dengan even dan persoalan Lingkungan Hidup, sebelum bergabung dengan Walhi Malut.

Waktu menunjukkan pukul 11.45 wita, kurang lebih 2 jam lagi KM Sinabung yang kami tumpangi kan sandar di Dermaga Bitung. Telah ku kontak Aldo, kawan lamaku di Mapala dulu, untuk bisa menyediakan bakso buatan tangannya, serta sedikit bekal buat kami, dalam melanjutkan perjalanana sebentar nanti dari Bitung menuju Ternate.



*(Edisi Yang Tercecer di Lautan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar