Papua,
masih merupakan pengalihan isyu yang seksi dari rezim ke rezim (kecuali
kepemimpinan Gusdur). Gusdur pada masa kepemimpinannya, berusaha menyatukan pecahan rasa yang selama 32 tahun diciptakan oleh rezim otoriter Suharto, dengan langkah damai dan persuasif. Sayangnya terlalu banyak faksi, sehingga mudah dipecah belah dengan menyulut rasa perbedaan, yang telah sekian lama terpendam. Amarah dan amuk massa menjadi alasan untuk kembalinya proses represifitas itu dimainkan kembali di tanah Papua. dan Gusdur, Sang Fenomenal itu pun harus ditumbangkan.
Jika Papua terus saja menjadi objek pengalihan isyu atas kebobrokan sistim kepemimpinan di negri ini, kuyakin suatu saat tak mampu dimanage bara sekam
itu. Persatuan memang seolah sulit tergapai di bangsa Papua, namun bukan
berarti momentum takkan tercipta sebagai triger tuk menuju ke arah
sana.
Saat itu terjadi, dan bisa jadi dengan melihat kondisi Indonesia
yang semakin sakit ini, momentum itu kan datang jua, lalu masih adakah
kata sakti NKRI itu ?
Damai Papua ku, jangan kalian sakiti yang
tak mengerti, mereka hanya mencari hidup, walau rambut dan kulit mereka
berbeda dengan kita, mereka juga bagian dari skenario segelintir orang
yang duduk nyaman merampok kekayaan SDA kita di pusat kekuasaan, baik di
Jakarta maupun di tanah Papua sendiri.
Mereka itulah musuh yang
sebenar-benarnya musuh yang harus kita hancur leburkan !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar