Sabtu, 12 Maret 2011

NEGERI KECIL ITU BERNAMA MALUKU UTARA

Sekedar Refleksi atas Penembakan Aksi Warga di Pulau Gebe
Oleh: Ismet Soelaiman
Penggiat WALHI

KEBEBASAN

Kebebasan merupakan sesuatu yang mahal bagi orang-orang yang sengaja maupun tak sengaja dirampas hak-haknya. Kita semua tahu, jauh sebelum negri ini terlepas dari koloni asing (Belanda kemudian Jepang), kebebasan berekspresi hanyalah sebatas khayalan. Semuanya, yang menurut “Bang Pram” terpantau dibawah kungkungan rumah kaca. Kemanapun kau bergerak, berkumpul, berbicara (lisan maupun tulisan), ketika dianggap akan mengganggu kenyamanan modal kolonial, atau ketentraman bangsa penjajah, atau bahkan bisa sampai membuat sang tuan besar Gubernur Jendral sakit gigi dan mual-mual, maka tidak bisa tidak, selain kau mesti bungkam, dibungkam atau lenyap-muspra dari muka bumi Hindia. Meski kata yang kau lontarkan tersebut merupakan perwakilan fakta nyata atas kejadian-kejadian yang pernah kau saksikan dan sangat perlu untuk disampaikan ke khalayak ramai. Kata-kalimat, yang lahir dari ketergugahan hati atas sebuah realita, merupakan ekspresi nilai-nilai intelektual yang bebas. Namun itu tak boleh terjadi di zaman kolonial-zaman penindasan inlander. Kau tak bisa lepas dari amatan, karena kau hanyalah seekor kelinci percobaan di dalam pantauan pengawas rumah kaca. Tiap kata dan gerak terawasi serta teranalisis juga terdokumentasikan dengan apik.

“Benarkah di zaman penjajahan, tiap kata dan gerakan dapat terpantau oleh rumah kaca kolonial ?”

Kejadiannya sudah lama berselang. Bahkan telah lebih dari setengah abad. Saat itu, pada tanggal 23 juni 1933, Gubernur Jendral De Jounge menurunkan satu perintah: Koran Soeara Oemum di Surabaya di bredel. Seorang wartawan bernama Tjindar Boemi, lima bulan sebelumnya menerbitkan sebuah tulisan tentang pemberontakan di atas kapal De Zeven Provincien. Isinya dianggap “menghasut”. Titah gubernur jendral itu bermula dari Procureur General pada tanggal 10 februari 1933. Dalam laporan itu disebut adanya perintah kepada yang berwajib di Surabaya untuk menahan Tjindar Boemi. Juga untuk “mendengar keterangan” dari pimpinan Soeara oemum”, dr. Sutomo, dan menyuruhnya “menandatangani pernyataan setia”.

Give Me Liberty or Give Me Death

Di sebuah tembok jalanan Jakarta, sekitar november 1945, para pemuda pejuang menuliskan dengan huruf-huruf besar, “Give me liberty or give me death”. Mereka tak bermaksud berbicara kepada orang Indonesia sendiri. Kalimat itu kata-kata orang Amerika Patrick Henri, diucapkan menghadapi penjajahan Inggris abad ke-18. dengan mengutip itu, kata bang “G. Muhamad” para pemuda Indonesia tampaknya ingin mengingatkan: suara seorang patriot Amerika abad ke-18 sama dengan suara para patriot Indonesia tahun 1945. Penindasan, pengekangan dan pembungkaman dapat melahirkan anak-anak zamannya sendiri. Anak-anak yang tak serta merta menjadi “beo” penguasa, sang “despot” yang merasa sebagai dewa atas sesama yang lain. Anak-anak zaman yang dengan tegas berani mengatakan tidak melalui caranya sendiri. Maka, tembok dan sarana kosong, menjadi luapan semangat atas ekspresi kebebasan mereka, ketika sarana formal berupa media cetak maupun elektronik telah menjadi sarang amatan penguasa, yang tiap saat dapat diberangus dan dihancurkan hanya atas dalih mengganggu kestabilan, dan ketentraman negri.

Sudah setengah abad lebih republik ini “merdeka”, lepas dari zaman kolonial Belanda dan Jepang. Namun apakah, di usia yang sudah mulai memasuki masa dewasa dan meninggalkan kenangan remaja ini, kita sebagai anak bangsa telah mengecap kemerdekaan dalam arti kebebasan ? Baiklah, mari kita coba buka sekelumit sejarah kebebasan berekspresi dalam bentuk kata-lisan dan tulisan di dua orde yang telah lewat. Orde lama, juga orde baru.

PEMBUNGKAMAN

Adalah seorang Pramoedya Ananta Tour, yang di zaman perang kemerdekaan tak pernah menyesal ditangkap dan dipenjarakan Belanda, karena ia anggota dari pasukan Republik. Mungkin tak terlalu muluk bagi bang Pram dan anak negri Hindia yang lain, rela berkorban hanya untuk meraih dua kata, “kemerdekaan-kebebasan”. Adakah kata hanya sebatas kata tanpa makna ? Di zaman kemerdekaan, zaman “Demokrasi Terpimpin” Soekarno ia dipenjara tentara, karena bukunya Hoakiu di Indonesia. Di zaman “Orde Baru” Soeharto ia dipenjarakan, dibuang ke Pulau Buru selama 13 tahun bersama 12.000 tahanan politik lainnya tanpa proses peradilan, dan kemudian dikembalikan ke Jakarta tetapi tetap tak bebas, selama hampir 20 tahun. Karya sastranya, buah dari hasil kebebasan ekspresinya yang terjepit diantara lars dan kokangan bedil senapan sesama anak negri, tak jua boleh terbit dan beredar di negrinya sendiri. Negri yang ia cintai dan turut larut dalam perjuangan meraih kemerdekaannya. Sebuah negri yang bernama Indonesia.

Adakah Bang Pram sendiri dan merasa ter-sendiri yang dicerabut hak-hak kebebasan berekspresinya ? “Marilah kita ingat bahwa pada mula dan pada intinya adalah pembungkaman”, kata bang G. Muhamad. Di tahun 1973, 1978, 1982, dan entah kapan lagi di masa orde baru, pembredelan terjadi. Di tahun 1994 juga. Tetapi apa yang menyusul pembredelan 1994 sama sekali berbeda. Setelah pembredelan terhadap Tempo, DeTik dan Editor itu, dua hal terjadi, yang tak pernah terjadi sebelumnya. Telah lahir kembali anak-anak zaman. Anak-anak yang berani menyuarakan sesuatu yang dianggap mereka “benar”. Untuk itu, di Jakarta, Yogya, Surakarta, Bandung dan Ujung Pandang demonstrasi pun terjadi. Sebuah barang mahal dan langka di republik ”merdeka” yang katanya telah mengenal demokrasi saat itu. Mereka melakukan aksi protes di jalan raya, di bawah terik mentari, juga di depan moncong bedil tentunya. Meski secara sadar, atau mungkin juga tidak, mereka telah memasukkan dan dimasukkan dalam sebuah “rumah kaca” anjing-anjing pengawas sang despot – the doug of glass home.

Gandhi dan Ahmad Dinejad

“Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tapi tak cukup untuk seorang yang serakah”. Demikian ucap Opa “Gandhi”, sang kreator revolusi damai di India. Saya tak punya cukup keberanian untuk membongkar makna “serakah”, tapi masih memiliki secuil kegelisahan atas hal tersebut. Serakah ingin memiliki segalanya, membuat orang terkadang lupa, bahwa di sekelilingnya ada sekumpulan komunitas orang yang juga membutuhkan kenyamanan hidup seperti dirinya. Kenyamanan akan kebebasan berekspresi, menyuarakan kata hati dan pendapatnya atas hal apa saja. Jika, sang penguasa telah kawin dengan keserakahan (dan hal tersebut paling sering terjadi, tidak Soekarno, Soeharto, Hitler, Stalin, juga Bush), maka telah lahir pula anak zaman yang lain, dan itulah yang disebut kekuasan sang Despot. Kata dan kalimat adalah implementasi kekuasaan. Tak boleh tidak, apalagi lebih. Untuk itu, maka di era ORBA, perlu ada Harmoko, yang senantiasa patuh mengejawantahkan maksud “Bapak”, dan semua media mesti mengamini, mematuhi dan menyebarkannya. Tak boleh berbeda, karena hal tersebut bisa menganggu stabilitas, serta menghambat pembangunan. Disinilah, kebebasan menjadi sesuatu yang langka, juga mahal.

Namun, di sudut gerbang masa yang lain, ada seorang Mahmoud Ahmadinejad yang dengan lantang berani mengungkapkan ekspresinya secara eksplisit atas Eropa juga USA disebuah forum resmi negara-negara Islam. “Pembantaian enam juta umat Yahudi pada masa Perang Dunia II oleh Nazi hanyalah sebuah mitos yang dipakai bangsa-bangsa Eropa sebagai dalih untuk menciptakan negara-negara Yahudi di tengah-tengah dunia Islam”. Hitler – sang Fuhrer megalolamania, seorang kopral Prusia yang kemudian menjadi penguasa Jerman, mungkin bisa juga tersentak dari kuburnya, Sekiranya demikian ucapan seorang Presiden Iran, negeri yang memiliki sejarah panjang perlawanan melawan tirani. Mahmoud mungkin telah membuat sebuah “kesalahan” atas apa yang diucapkannya di forum tersebut, tapi tidak untuk keberaniannya mengungkapkan (mungkin) ekspresi kekesalannya terhadap kooptasi negara-negara adidaya atas dunia Islam. Dan ia mendapatkan panggungnya. Ketika, setelah ucapan tersebut langsung mendapat respon negatif berupa kecaman dari berbagai pemimpin dunia, Mahmoud sang presiden yang negaranya sementara terjebak dalam pentas rumah kaca internasional (khusus USA), karena isu nuklir tersebut, dengan santai meresponnya (mungkin juga sambil senyam-senyum), “ah, ternyata mereka (negara-negara pengecam) belum dewasa dalam menghargai perbedaan pendapat”. Sederhana, namun cukup berani untuk sebuah bangsa yang kecil dan sementara menjadi incaran bombardir keserakahan global, yang mengklaim diri sebagai world police.

Luka Di Jazirah Al Mulk

Lalu, bagaimana dengan negeri kecil namun indah yang kaya akan sumberdaya alamnya ini. Negeri kecil yang dalam catatan sejarahnya cukup kenyang dengan penjajahan dan penjarahan kekayaan alam. Negeri kecil yang memiliki banyak pulau dan keindahan alam pesisirnya. negeri kecil yang kaya akan situs budayanya. Dan negeri kecil yang telah ditempati moyang kita sejak dulu kala. Negeri Al-Mulk.
Adakah ia membatasi, juga membungkam kebebasan ekspresi anak negerinya?
Entahlah...
Yang pasti, pada tahun 2004 adalah seorang Rusdi Tunggapi yang berusaha mempertahankan tanahnya ditembak mati oleh aparat di lokasi pertambangan PT. NHM. Ia dan warga kampungnya mencoba untuk mempertahankan sumber ekonominya, dan mempertahankan hak disini berarti bersalah, dan mesti mati. Adakah tindak kekerasan itu berakhir, sepertinya tidak. Sore hari, 27 februari 2010, letusan bedil kembali memakan korban anak negerinya sendiri. Warga yang menuntut hak-haknya kembali mesti dibungkam oleh bedil aparat yang berslogan pelindung rakyat. Mereka, warga-masyarakat Gebe – Halmahera Tengah – Maluku Utara yang kekayaan nikelnya dijarah PT. Aneka Tambang, menuntut, lalu ditembaki. Menuntut sepertinya sesuatu yang salah dimata aparat kita.

Adakah penembakan, perampasan hak, pembungkaman dan penindasan terhadap warga kita itu, mampu menggugah alam pikir dan rasa kita semua warga Maluku Utara ?
Lagi-lagi entahlah..

Fakta yang terlihat secara nyata, kesucian Bumi Halmahera masih terus diperkosa, keanggunan dan kemolekan tubuhnya perlahan semakin sirna. Tangan-tangan keserakahan, dengan “tameng negara”, menggunakan ekskafator dan beragam alat berat penghancur, menjarah tanpa ampun kekayaan tambang, yang merupakan warisan anak cucunya. Menyisakan kerusakan dan kehancuran bagi alamnya, serta duka, air mata dan ketertindasan dalam kemiskinan bagi rakyatnya. Dan ketika semua hak itu ingin kita rebut kembali, maka “moncong bedil sang pelindung” kan berpihak pada Company pertambangan, tidak pada kita, anak bangsanya sendiri.
Akankah kita, mereka dan kami semua dibiarkan terus hidup dalam ketertindasan dan perbudakan, hingga akhirnya mesti terusir dari tanah moyangnya sendiri? Yah, terkadang tak semua pertanyaan butuh jawaban dan tak semua jawaban dalam kata adalah solusi. Warga Gebe ditembaki oleh aparat yang bermotto “Pelindung Rakyat”. Gebe punya ANTAM, sementara Halmahera punya Company Nusa Halmahera Mineral, Company Weda bay Nickel dan ratusan izin Kuasa Pertambangan. Jika satu company pertambangan mengakibatkan satu komunitas kecil yang berani menyuarakan haknya dihujani peluru, dan berakhir dengan luka dan duka, lalu siapa yang berani menjamin bahwa duka tersebut takkan dilakukan oleh company-company pertambangan yang lain di Jazirah Al-Mulk ini ?

Entahlah.., toh Maluku Utara hanyalah salah satu titik kecil yang juga tak luput dari pantauan Rumah Kaca Kolonial. Mungkin juga medianya. Wallahualam Bissawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar