Senin, 04 Juni 2012

Minggu, 22 april 2012, 'Tegang'

Setelah 3 jam berada di Pelabuhan Bitung yang cukup meresahkan, akhirnya pengumuman itu keluar juga, satu jam lagi KM Sinabung akan melanjutkan perjalanan menuju Pelabuhan Ternate. Para buruh, pedagang asongan dan pengantar pengunjung diminta untuk segera turun dari atas kapal. Stom 2 kali pun mengaung ke udara Bitung yang telah sesak dengan asap pabrik.

Beberapa penggalan cerita yang tak sabar kutuliskan sejak tadi adalah tentang buruh bagasi, pedagang asongan dan pencopet, yang sempat membuatku tegang selama 3 jam tadi, hingga tak kuasa mencatat penggalan kisah tersebut.

Saat kapal Sinabung sandar di Dermaga Bitung, Dino, Bongki, Ical, Eros dan Mendes menjadi relawan untuk berdesakan melawan arus para buruh, agar bisa ketemu dengan Aldo, yang telah menyiapkan bekal makanan perjalanan kami menuju Ternate. Aldo telah menunggu di dermaga, sambil tak lupa membawa 'pentolan bakso' khas buatan tangannya sendiri. Tak lama perjumpaan Aldo dan kawan-kawan Malut. Kondisi kesehatannya kurang baik, maka setelah bekal makanan berpindah tangan, Aldo pun langsung pamit untuk kembali ke rumahnya.

Aldo adalah kawan baikku yang kini menjadi tulang punggung keluarga, sejak ayahnya meninggal 4 tahun yang lalu. Bisnis dagangan bakso, diambil alih olehnya. ketika kami masih sibuk mengatur agenda pendakian atau petualangan, Aldo sudah tak bisa lagi bergabung, karena seluruh waktunya habis untuk bangun di jam 4 subuh mencari daging sapi yang segar, meracik bumbu bakso, serta membuat puntelan bakso. Ibu dan adik perempuannya yang menjajakannya di pasar. waktu istirahatnya hanya siang hari, karena sore hari, ia mesti kembali bergantian dengan ibunya untuk menjaga warung bakso di halaman rumahnya di Girian Bawah-Kota Bitung.

Sementara itu, diatas kapal dek 7 lokasi basecamp kami, telah penuh dengan orang yang berseliweran. Ada yang mencari tempat, ada yang manawarkan dagangan, ada pula yang sekedar keluar masuk. Barisan penjaga basecamp kami kacau balau, karena Iji dan Alen disersi meninggalkan bunker mereka. Akhirnya, dua bunker di sisi utara yang kosong menjadi sasaran empuk para pencari tempat, juga para pencopet. Formasi pun berubah, Ido kuminta menjaga sisi Utara tepat di depan pintu, Tuty sisi Barat, sementara aku sisi Kanan dan Lita sisi kiri timur, yang tepat berada di tangga naik dan turun.
berpasang mata, banyak yang melirik kasur, juga tas. bahkan 5 orang secara terang-terangan berdiri dihadapan Lita dan terus memperhatikan Laptop serta Ipad yang berada disisinya. Hampir 10 menit mereka melakukan pshyteror, dengan bolak balik di lokasi basecamp sambil terus memperhatikan tas dan seluruh barang kami yang di tumpuk di empat bagian.

Ibarat Harimau, mereka terus mengawasi mangsanya, menunggu lemah dan lalai. 2 orang berdiri disisiku sambil terus menatapi tas dan barang bawaan kami. 2 orang lainnya berdiri di bawah tangga, seolah mencari ruang untuk bisa merogoh 2 laptop dan ipad yang memang tersandar di dinding kaca pembatas pagar, namun kemungkinan itu terrlampau sulit. Hal yang menjadi sulit adalah, aku tak bisa menuduh mereka pencuri, selama mereka belum tertangkap tangan mengambil barang kami. curiga boleh saja, tapi jangan menuduh, meski wajah mereka masih kukenali. orang-orang ini adalah pemain lama di pelabuhan Bitung, sudah sejak 7 tahun yang lalu, saat aku masih beraktivitas di Kota ini. Satu orang bahkan dengan tegas berjalan ke arahku dan menantang tatapanku. Kupikir polanya masih sama, 2 orang ciptakan keributan, mengalihkan perhatian dan kerumunan, sementara yang lain beroperasi mengamankan seluruh barang bawaan korban.

Jumlah mereka mulai bertambah menjadi 9 orang. 3 orang di pintu masuk dek 7, 2 orang di tangga, dan 4 orang berdiri di sisiku. Situasi basecamp semakin runyam, karena ada 2 orang penumpang laki-laki yang baru naik langsung menaruh tasnya di depan pintu dek 7 sebelah kanan, tepat dibawah kasur tempat tidur Eros dan Ido. tak lama berselang muncul lagi 5 orang perempuan menumpuk barangnya di tempat tersebut. 3 orang pedagang asongan juga turut meramaikan ruangan dek 7 yang hanya berukuran kurang lebih 3 X 10 M. Kusampaikan ke Lita agar selamatkan saja tas kuning yang berisikan logistik kami, serta tas laptop, jika terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan. firasatku sudah sangat buruk, karena 3 orang kembali berjalan mengitari kami. Untunglah, disituasi yang kritis dan hampir meledak itu, Dino dan rombongan pemukul tiba di basecamp. Melihat jumlah kami lebih banyak (dengan muka yang sangar, karen tak mandi), akhirnya mereka meninggalkan basecamp, dan pergi entah kemana.

Kami melakukan evaluasi singkat, dan berbagi tugas. Ical menjaga tangga kanan, Eros tangga kiri, aku dan Dino di pintu keluar. Sementara Mendes, Bongki, dan Ido duduk santai diposisinya masing-masing. Iji, Alen dan Sarfan tak lagi kebagian tugas, karena desersi. mereka bertiga masuk kelompok bebas, tanpa perlu tahu skenario yang disepakati. Selain mereka bertiga, kami sepakat sebelum kapal berlepas dari dermaga Bitung, kami akan buat kerusuhan di atas kapal. Tak lama, setelah kesepakatan terbangun, keyakinanku terbukti, rombongan 7 orang aneh tadi kembali ke ruangan kami, berkeliling memperhatikan barang bawaan, seolah kami tak berada dalam ruangan itu. Psywar dibalas dengan psywar. Aku dan Eros bertelanjang dada langsung menuju tangga kapal, tempat mereka berkumpul, demikian pula dengan Ical. Ternyata, justru mereka yang lemah dan berlalu dari basecamp kami. situasi tegang, berangsur pulih. perasaan nyaman hadir kembali di basecamp Walhi Malut Dek 7 KM Sinabung.


*(Edisi Yang Tercecer di Lautan)

PUKUL 01.00 WITA

Pukul 01.00 wita, hari telah berganti. kini hari minggu, tanggal 22 april 2012, seorang anak kecil dengan panggulan karung di pundaknya, menarik perhatianku. 2 orang bocah, berlarian mengejar kawannya yang tadi. mereka berdua pun menenteng karung plastik, yang ternyata berisikan botol plastik bekas. KM Sinabung telah merapat di Pelabuhan Banggai. pedagang asongan berkaos merah, yang dibelakangnya tertulis "asongan" terus meneriakkan dagangannya.

Pelabuhan Banggai dalam rekaman memori perjalananku 11 tahun yang lalu, saat mengikuti even Prepcom di Bali, tepatnya tahun 2001, belum memiliki dermaga. Kapal yang kutumpangi saat itu hanya berlabuh. Kami masih bisa menyaksikan kepiawaian anak pesisir berloncatan dari kapal tuk berlomba mengejar uang koin seratusan yang dilemparkan ke laut.

Corong pengumuman tadi menginformasikan sesuatu yang baru dalam pendengaranku selama aku menumpangi kapal Pelni. bahwa, lama keberadaan kapal di pelabuhan banggai, tidak berdasarakan waktu, tapi tergantung penumpang yang turun dan naik. jika semua penumpang telah naik, maka kapal langsung bertolak meninggalkan pelabuhan. Hal yang menggelitik urat senyumku adalah, meski telah diumumkan berulang kali, agar pengantar, pengunjung, buruh bagasi, serta pedagang asongan segera turun dari atas kapal, namun mereka melakukan aksi tak mau turun. pluit petugas berbunyi tak henti, memaksa mereka untuk turun. hingga pengumuman ABK Dek siap muka belakang, kapal siap berangkat, berulang kali diumumkan, masih terlihat beberapa pedagang asongan menjajakan dagangannya.

Mendes, Eros, Ical dan Sarfan yang tadi bertindak sebagai relawan yang turun ke dermaga, telah kembali dengan tentengan tas plastik berisikan buras, suami (makanan khas sultra), serta ikan bakar. 12 orang pun bersantap dini hari penuh lahap. usai makan, ternyata Sinabung telah jauh dari dermaga. perjalanan kami lanjutkan menuju pelabuhan Bitung, dengan waktu tempuh 11 jam. saatnya lelap...



*(Edisi Yang Tercecer di Lautan)

MINGGU, 22 APRIL 2012

Minggu, 22 april 2012 pukul 08.00 wita, beberapa kawan masih terlelap, saat aku tersadar dari tidur malamku. Di sampingku, Lita tengah sibuk mempersiapkan alat mandinya. Pintu terbuka, Dino menampakkan wajahnya yang terlihat bingung, mungkin karena sendiri sejak pagi tadi. Dino memang yang paling dini terbangun sejak dulu. berbeda dengan 10 orang lainnya dalam rombongan Walhi Malut kali ini, termasuk juga diriku. Ido, Iji, Bongki, Mendes, alen dan Sarfan yang paling hobi menghabiskan umurnya di tempat tidur. Mereka tahan tidur berjam-jam, bahkan baru bangun sekalipun, mereka bisa kembali terlelap, untuk waktu yang cukup panjang. Ini salah satu faktor, kenapa Maluku Utara jarang dihitung dikancah pergerakan nasional. sebagian aktivisnya lebih senang membangun hayalan lewat mimpi di atas kasur.

Hal yang paling meresahkanku saat-saat diatas kapal adalah, waktu bangun tidur dan harus melakukan rutunitas mandi serta melepaskan kotoran tubuh. Kamar mandi dan WC di kapal ini sangat jauh dari kelayakan. Pintunya banyak yang rusak, sementara di dek 2, penumpang tak lagi peduli soal kamar mandi untuk wanita maupun pria. semua bercampur baur. dengan kondisi pintu yang tak bisa terkunci, sangat mengganggu kenyamanan orang yang akan melakukan ritual bersih tubuhnya. Sangat dipahami, persoalan ini bukan semata kelalaian pihak pengelola jasa perhubungan laut, tapi menurut amatanku, tingkat kesadaran kita sebagianjk penduduk Indonesia juga yang masih lemah, dalam hal merawat fasilitas publik. Selain kotor dan sering mampet, di kamar mandi juga ramai terjadi pencurian barang. Hal ini, yang membuat Mualim satu senantiasa tak bosan memperingatkan kepada penumpang untuk berhati-hati menjaga barang bawaannya. Pencurian di atas kapal juga cukup tinggi.

Usai mandi, aku bergabung dengan Lita, Dino, juga Bongki, yang telah santai menikmati laut di dek 7 bagian luar. Prediksiku, saat ini kapal Sinabung yang kami tumpangi telah berada di perairan Gorontalo. Karena telah kehabisan kaos, akhirnya kugunakan kaos biru bertuliskan WALHI  di dada, yang adalah milik istriku Lita. Sejak keberangkatan kami dari Balikpapan, kuperhatikan ada 7 orang dari kami yang tak pernah mengganti baju dibadannya. Mereka adalah, Iji, Alen, Ical, Mendes, Dino, Ido dan Sarfan. Baju yang mereka kenakan tak pernah berganti hingga kutemui pagi ini, selalu kostum Merah Walhi yang berisikan pesan di belakangnya, "Air - Energy - Pangan - Untuk Sebesar besarnya Kemakmuran Rakyat". Kembali pada diriku yang sedang menghadapi amukan Lita karena menggunakan kaos Walhi miliknya. Dengan muka tak berdosa, akhirnya kulepaskan kaos biru tersebut (karena memang sengaja mau kupamerkan otot dada dan perutku yang sixpack di muka publik, hahae :). Akhirnya akupun turut bergabung dalam barisan "Walhi Merah" pimpinan Iji. Barisan kaos "bau" yang telah 5 hari menempel di badan.

Pukul 09.20, Mendes masih terlelap layaknya sapi potong, demikian pula Eros, Sarfan, Ido dan Tuty. Sementara Aku, Lita, Dino, Iji dan Alen bersepakat menikmati pagi dengan secangkir kopi manis di ruang kavetaria dek 7 bagian belakang. Di kejauhan terlihat hutan yang gundul dan galian tambang di daratan panjang Pulau Sulawesi bagian Utara. 3 orang petugas kapal datang menghampiri kami, memeriksa tiket. Bersamaan dengan itu, di bagian belakang kanan kapal, satu perahu katinting muatan 2 orang sementara berjibaku dengan hempasan ombak dari KM Sinabung yang kami tumpangi. "Luarbiasa nelayan kita ini, begitu jauh mereka harus mengais rejeki, berjudi dengan laut, untuk menyediakan sumber protein di meja makan kita", celoteh Lita atas fenomena katinting tadi. Daratan cukuplah jauh dari posisi keberadaan kapal kami. "Mereka memang tangguh", ucap Iji menambahkan.

Kavetaria mulai ramai dengan kehadiran Eros dan Ical yang sudah terlihat segar usai mandi. Cerita tentang hari bumi mulai berkembang tanpa arah, karena Kartini pun ingin mengambil peran. Dino mengusulkan untuk menulis Propaganda di karung putih yang menjadialas tidur kami, kemudian berkeliling kapal. Lain lagi usulan Lita, menurutnya lebih baik kita minta ijin untuk menggunakan corong informasi, menyampaikan pesan-pesan tentang hari bumi, dan rusaknya ekologi. Hampir semua Kru kapal, termasuk Kapten dan Mualim hingga dokter di Poliklinik telah tahu, bahwa dalam pelayaran kali ini, terdapat rombongan penggiat Lingkungan Hidup dari Maluku Utara (sesekali berlagak besar dengan Walhi kan boleh juga to, hahae :). Lita dan Tuty bahkan diijinkan masuk ke ruang kemudi, yang aksesnya sangat terbatas bagi penumpang. Berdiskusi dengan kapten dan Mualim tentang Walhi, juga tentang hal ihwal bagian dalam ruang kemudi di anjungan kapal. Tapi, kuyakin apapun diskusi tentang hari bumi di ruang kavetaria ini, takkan berakhir pada langkah nyata aksi praksis diatas kapal.

"Ironisnya, Dinosaurus musnah karena faktor eksternal dirinya, kehidupan manusia terancam musnah karena sistim ekonominya sendiri (ekonomi kapital)", demikian penggalan status FB kawanku Pius Ginting pagi ini yang menggugat kalimat "Bumi makin tua dan Rusak adalah tidak tepat". Kawanku yang satu ini, memang luarbiasa kritis dan substantif dalam perspektif KeWalhi-an dalam memandang setiap moment.

Cuaca disebelah kanan kapal terlihat mendung, sementara di sisi kiri yang adalah bagian daratan Sulawesi, sangat terik dengan sengatan matahari. Suhu di kavetaria dek 7 mulai tak nyaman. Dino, Iji, Ical dan Alen memilih kembali ke basecamp, sementara aku, Eros dan Lita masih bertahan dengan suasana kafetaria yang mulai riuh dengan segala jenis lagu, layaknya pasar musik di stasiun 45 Manado. Mendes bergabung dengan kami bertiga. Rambut kribonya tetap tak rapi meski telah usai mandi, matanyapun masih terlihat merah :). Mendes hadir tidak untuk berdiskusi soal Hari Bumi yang jatuh hari ini, atau Hari Kartini yang jatuh hari kemarin, tapi sibuk menanyakan tawaran informasi kapal tentang makan siang :). Bukan Mendes tak peduli terhadap hari Bumi,tapi karena memang ia tak pernah tahu kapan hari lingkungan hidup, hari bumi, dan perayaan hari-hari lingkungan lainnya.

Tapi sejujurnya, bukan hanya Mendes, tapi semua yang ada dalam rombongan Walhi Malut kali ini tak mengetahuinya, selain aku dan Lita yang sudah sejak zaman kuliah dulu merayakannya dengan aksi-aksi jalanan. Hal ini menjadi wajar Karena mereka semua belum lama bersentuhan dengan even dan persoalan Lingkungan Hidup, sebelum bergabung dengan Walhi Malut.

Waktu menunjukkan pukul 11.45 wita, kurang lebih 2 jam lagi KM Sinabung yang kami tumpangi kan sandar di Dermaga Bitung. Telah ku kontak Aldo, kawan lamaku di Mapala dulu, untuk bisa menyediakan bakso buatan tangannya, serta sedikit bekal buat kami, dalam melanjutkan perjalanana sebentar nanti dari Bitung menuju Ternate.



*(Edisi Yang Tercecer di Lautan)

MASIH DI HARI YANG SAMA

masih dihari yang sama, penghujung sabtu, 21 april 2012, pukul 23.35 wita, corong informasi kembali berbunyi, mengumumkan bahwa 1 jam lagi KM. Sinabung akan merapat di Dermaga Banggai. Bongky terlelap dengan nyaman, Ical menggantikan posisiku dengan Lita di lorong ruang nginap para pembesar Sinabung, tempat kami menumpang charge segala peralatan elektronik yang kami miliki. Ido masih sibuk naik turun keliling kapal mencari sang buah hatinya Tuty, yang sekonyong-konyong lenyap. Mendes, alen dan Dino, lebih memilih menghabiskan malamnya di ruang kavetaria dek 7 bagian belakang. Sementara Eros, baru usai menghabiskan waktunya di ruang teater dek 2, menonton film tentang perselingkuhan. Iji, yang hampir luput dari pantauan, ternyata berada di ruang karaoke dengan dandanan parlente, menonton lomba menyanyi antar kru kapal, dalam rangka memperingati harlah Pelni. Sarfan dan Tuty, akhirnya diketahui berada di bagian depan, dibawah tangga anjungan, sementara asyik mengisi TTS.

pukul 22.00 wita tadi, Lita sempat menemani Tuty ke Poliklinik yang hanya berjarak beberapa langkah dari tempat kami. dokter yang memeriksa Tuty mengaku dulunya anak Mapala Undip, dan dia mengenal Walhi. vonisnya, Tuty terkena radang tenggorokan, karena terlalu banyak menghirup asap rokok. tapi menurutku, selain asap rokok, Tuty juga pasti masuk dingin. hari kemarin, sarfan juga sempat mengalami demam, saat rombongan kami baru naik ke kapal. pola tidur dan makan yang tidak teratur selama seminggu di arena PNLH, mulai membuahkan hasil. beberapa pasukan mulai bertumbangan.

10 menit setelah pengumuman, aku bersama Lita keluar ruangan, duduk nyantai di pagar kapal dek 7, tepat dibawahnya tertulis, "dilarang duduk diatas pagar kapal", hehehe, tapi kami berdua cuek saja. Lita, kawan diskusi yang juga adalah istriku, mencoba mengimbangi celotehanku tentang hal-hal yang menyangkut persoalan PNLH XI Walhi di Balikpapan yang telah lewat. "Aku menggugat", igauku padanya, sambil memandang jejeran cahaya lampu di ujung kegelapan malam. "Menggugat apa?", tanya Lita, yang juga mengarahkan pandangannya pada kerlipan cahaya di ujung kegelapan. "Menggugat keteledoranku, sejak awal mula persiapan menghadapi even PNLH ini mulai dideklarasikan 3 bulan lalu". Hening, tak ada balasan darinya. corong informasi kembali berbunyi, "30 menit lagi Kapal Sinabung akan merapat di dermaga Banggai". Diskusi kami terputus, karena dek 7 bagian luar tempat kami menikmati malam, mulai ramai dipenuhi penumpang kapal yang lain.

Pukul 00.20, pengumuman kembali berbunyi, " ABK Dek siap muka belakang, kapal sandar kiri, kapal sandar kiri", lalu kami berdua kembali ke ruangan bagian dalam, tempat dimana segala barang bawaan dan kasur kami berada. Kulepas pengait pintu dan membiarkannya tertutup, hanya untuk menjaga kemungkinan lenyapnya harta benda kami oleh tangan-tangan usil. ingat pesan bang napi, kejahatan terjadi karena ada kesempatan, Waspadalah, waspadalah !!! dan kapal pun sandar di pelabuhan Banggai.



*(Edisi Yang Tercecer di Lautan)