Rabu, 16 Maret 2011

DARI CHICO MENDEZ SAMPAI HUTAN HALMAHERA

Oleh : Ismet Soelaiman
(Eksekutif Daerah WALHI Maluku Utara)

Malut Post - Kolom Opini, Edisi Selasa 15 Maret 2011

Lelaki itu akhirnya harus tumbang diujung moncong bedil, yang meletus tepat di belakang rumahnya. Dadanya berlumuran darah. Sambil memegang kepalanya, limbung ia melangkah, tertatih masuk kembali ke dalam rumahnya, hanya untuk melihat satu orang istri dan kedua bocahnya yang masih belia untuk yang terakhir kalinya. Lalu ia jatuh – terkapar, dan menghembuskan nafas terakhir. Chico Mendez, lelaki dari pedalaman Amazone yang kharismatik itupun akhirnya meninggal.

Itulah sepenggal film yang saya cuplik dari kisah perjuangan warga Chacoeira – Brazil, yang mempertahankan hutan karetnya dari segelintir orang yang serakah. Atas nama kemajuan dan modernisasi, sektor pendapatan ekonomi warga lokal mesti diluluh-lantakkan. Petani kehilangan lahan garapannya, lalu dipaksa beralih fungsi menjadi buruh pabrik. Mereka, warga Chacoeira itu, tak mengerti apa itu Pemanasan Global. Yang mereka pahami dan yakini hanyalah, “ Jika kau mengambil lebih dari hasil Hutan, maka Curupira (Manusia Cebol penjaga hutan), akan marah dan mengambilmu”. Untuk kepercayaan lokal itu, maka hutan tropis Amazone di belantara Brazil, senantiasa menjadi salah satu peredam laju emisi karbon, penyebab global warming di permukaan bumi yang semakin uzur ini.

Ia, Chico Mendez itu, tak pernah bermimpi menjadi pahlawan. Ia hanya ingin orang kampungnya bekerja dan maju bersama kearifan tradisional mereka dalam mengelola dan memanfaatkan sumber-sumber produktifitas ekonominya. Mereka tak menolak modernisasi zaman. Yang mereka tolak hanyalah hutan yang adalah lahan tani mereka dirampas dengan cara-cara yang licik. Ketika sebuah investasi asing datang dengan proyeksi ekonomi mereka, lalu menggunakan kekuatan politisi, militer dan para militer (preman), merampas sumber kehidupan warga Chacoeira, mereka-warga di pedalaman Amazone itu bangkit, bersatu dan melawan. Mereka paham, jika sendiri, maka mereka pasti terlibas kebiadaban koorporatokrasi (perkawinan birokrasi dan koorporat yang dibentengi militer). Korban berjatuhan, tapi mereka-warga kampung itu tetap berlawan memperjuangkan hak mereka. Dan Chico Mendez menjadi ikon perjuangan itu.

HUTAN DAN WARGA HALMAHERA

Banyak dari kita, warga Halmahera yang hidup di Ternate tak pernah tahu, berapa luasan hutan di Jazirah Halmahera. Banyak pula dari kita yang tak pernah mau tahu, seberapa besar sumbangsihnya bagi kehidupan masyarakat sekitar. Sementara, saya cukup meyakini, keterdidikan kita, kecerdasan dan kapasitas intelektual yang kita miliki saat ini, cukup besar sumbangsihnya dari hasil kopra, pala, cengkeh, dan hasil laut para orang tua kita yang berada di kampung-kampung Halmahera. Tidak sedikit dari kita, yang saat ini tak lagi gagap dengan segala hal ihwal modernisasi zaman, adalah buah kasih dari sepasang petani atau nelayan di tanah besar sana. Dan hutan-hutan itu kini telah terancam, bahkan ada yang telah hilang bersama kampung halaman warga tempatan.

Mari kita mulai membacanya dari pulau di selatan Maluku Utara. Pulau Taliabu dan Mangoli, entah berapa banyak warga yang telah dimasukkan ke penjara, atau diintimidasi oleh aparat, karena dipaksa melepas tanah garapannya, saat konsesi hutan beroperasi di wilayah tersebut. Ketika konsesi hutan selesai, warga lokal diperhadapkan dengan maraknya izin kuasa pertambangan yang dikeluarkan oleh pemerintah setempat. Ratusan hektar konsesi diperuntukkan bagi tambang. Data Sula Mining Watch terdapat ± 21 izin kuasa pertambangan, sementara data dari ESDM pusat, di Kabupaten Sula terdapat 116 izin KP, yang tentunya sebagian konsesi itu berada di wilayah perkebunan warga. Jika demikian, lalu bagaimana dengan nasib warga yang areal ruang hidupnya masuk dalam kawasan konsesi tersebut ? Adakah mereka tetap bertahan, berlawan, atau jangan-jangan telah tergusur dan kita tak pernah mengetahuinya. Penting kiranya bagi kawan-kawan Mahasiswa Sula mengabarkannya kepada dunia, karena orang-orang yang terlindas keserakahan zaman itu, adalah saudara kita juga.

Di Halmahera Selatan, sempat mencuat di media publik Maluku Utara, protes dari warga terhadap konsesi tambang di Pulau Obi. Ada pula konsesi hutan di wilayah Gane. Di Halmahera Utara, pesisir laut dan pulau-pulau kecilnya yang menawan, hampir penuh dengan konsesi tambang pasir besi. Ada pula raksasa pertambangan emas PT. Nusa Halmahera Mineral yang hobi memecahkan pipa limbahnya dan mengancam kesehatan hidup warga tempatan. Di Halmahera Tengah, Pulau Gebe telah usai dilumat kekayaan nikelnya oleh PT. ANTAM dan menyisakan banyak kisah duka dari pulau tersebut. Di daratan Halamahera Tengah, ada pula raksasa pertambangan nickel, yakni PT. Weda Bay Nickel, yang hingga kini tak becus mengurus pembebasan tanah warga lokal di Sagea, Lelilef, Kobe dan Gemaf. Di ujung daratan Halmahera Tengah, tepatnya di seputaran Tanjung Ngolopopo-Patani, ada pula konsesi hutan yang menggusur areal perkebunan pala warga lokal.

Di Halmahera Timur, inilah tempat laboratorium kecil para investor tambang dan kayu. Semuanya berlomba menguras isi perut buminya, dan menggusur lahan petani, mengotori pesisir dan wilayah tangkap nelayan dengan air coklat lumpur dari daratan produksi mereka. Lihat saja, betapa gersang dan tandusnya Pulau Gei dan Pulau Pakal. Benar, sebagian warga tiba-tiba memiliki uang yang banyak, tapi apa sebutannya bagi petani jika tanah dan lahan garapannya tak lagi ia punya. Di Morotai, kasus rebutan lahan antara warga-pemerintah daerah dan Angkatan Udara, terus saja mencuat di permukaan, namun hingga kini solusinya masih tetap buram. Belum lagi usai kasus tanah itu, sekonyong-konyong berita akan tergusurnya beberapa desa di daratan Morotai akibat investasi pertambangan pasir besi mencuat ke permukaan. akankah mereka tergusur, atau justeru telah tergusur ? Apa kabar Mahasiswa Morotai. Adakah kalian mau mengabarkannya kepada kami, saudara kalian yang berada di pulau lain ?

Chico Mendez tak pernah bermimpi menjadi pahlawan. Ia dan warga Chacoeira di zaman itu, juga tak butuh program REDD (Reduction Emision for Degradation & Destruction), untuk menyelamatkan hutan dan sumber-sumber kehidupan mereka. Karena disana, di pedalaman Amazon, sebuah perkampungan kecil di pelosok Brazil, Mendez dan orang kampungnya punya Curupira, dan itu sudah cukup membentengi mereka dari keserakahan atas eksploitasi alam. Mereka juga tak terlalu butuh banyak ikon perjuangan untuk berlawan dan merebut kembali tanahnya. Mereka hanya sadar, bahwa bersatu kita teguh, dan bercerai kita runtuh. Perjuangan mereka-warga kampung itu berhasil. Perusahaan asing, yang diback up penuh elit politik dan aparat militer, akhirnya mundur dan angkat kaki dari wilayah kehidupan mereka. Satu pembelajaran yang bisa kita petik dari film berdurasi ± 90 menit itu, bahwa semua itu mungkin jika kita bersatu dan mau memperjuangkannya.

Tanah dan warga di Maluku Utara sedang dan berada dalam ancaman penggusuran. Kita tak lagi berdaulat atas ruang hidup kita sendiri. Sementara, Chico Mendez tak pernah bermimpi menjadi pahlawan pejuang lingkungan. Namun, minimal, ia sang orang kampung itu, bisa menjadi inspirasi bagi kita semua. Adakah demikian hai saudara kampungku Moloku Kie Raha ? Tabea.

Sabtu, 12 Maret 2011

NEGERI KECIL ITU BERNAMA MALUKU UTARA

Sekedar Refleksi atas Penembakan Aksi Warga di Pulau Gebe
Oleh: Ismet Soelaiman
Penggiat WALHI

KEBEBASAN

Kebebasan merupakan sesuatu yang mahal bagi orang-orang yang sengaja maupun tak sengaja dirampas hak-haknya. Kita semua tahu, jauh sebelum negri ini terlepas dari koloni asing (Belanda kemudian Jepang), kebebasan berekspresi hanyalah sebatas khayalan. Semuanya, yang menurut “Bang Pram” terpantau dibawah kungkungan rumah kaca. Kemanapun kau bergerak, berkumpul, berbicara (lisan maupun tulisan), ketika dianggap akan mengganggu kenyamanan modal kolonial, atau ketentraman bangsa penjajah, atau bahkan bisa sampai membuat sang tuan besar Gubernur Jendral sakit gigi dan mual-mual, maka tidak bisa tidak, selain kau mesti bungkam, dibungkam atau lenyap-muspra dari muka bumi Hindia. Meski kata yang kau lontarkan tersebut merupakan perwakilan fakta nyata atas kejadian-kejadian yang pernah kau saksikan dan sangat perlu untuk disampaikan ke khalayak ramai. Kata-kalimat, yang lahir dari ketergugahan hati atas sebuah realita, merupakan ekspresi nilai-nilai intelektual yang bebas. Namun itu tak boleh terjadi di zaman kolonial-zaman penindasan inlander. Kau tak bisa lepas dari amatan, karena kau hanyalah seekor kelinci percobaan di dalam pantauan pengawas rumah kaca. Tiap kata dan gerak terawasi serta teranalisis juga terdokumentasikan dengan apik.

“Benarkah di zaman penjajahan, tiap kata dan gerakan dapat terpantau oleh rumah kaca kolonial ?”

Kejadiannya sudah lama berselang. Bahkan telah lebih dari setengah abad. Saat itu, pada tanggal 23 juni 1933, Gubernur Jendral De Jounge menurunkan satu perintah: Koran Soeara Oemum di Surabaya di bredel. Seorang wartawan bernama Tjindar Boemi, lima bulan sebelumnya menerbitkan sebuah tulisan tentang pemberontakan di atas kapal De Zeven Provincien. Isinya dianggap “menghasut”. Titah gubernur jendral itu bermula dari Procureur General pada tanggal 10 februari 1933. Dalam laporan itu disebut adanya perintah kepada yang berwajib di Surabaya untuk menahan Tjindar Boemi. Juga untuk “mendengar keterangan” dari pimpinan Soeara oemum”, dr. Sutomo, dan menyuruhnya “menandatangani pernyataan setia”.

Give Me Liberty or Give Me Death

Di sebuah tembok jalanan Jakarta, sekitar november 1945, para pemuda pejuang menuliskan dengan huruf-huruf besar, “Give me liberty or give me death”. Mereka tak bermaksud berbicara kepada orang Indonesia sendiri. Kalimat itu kata-kata orang Amerika Patrick Henri, diucapkan menghadapi penjajahan Inggris abad ke-18. dengan mengutip itu, kata bang “G. Muhamad” para pemuda Indonesia tampaknya ingin mengingatkan: suara seorang patriot Amerika abad ke-18 sama dengan suara para patriot Indonesia tahun 1945. Penindasan, pengekangan dan pembungkaman dapat melahirkan anak-anak zamannya sendiri. Anak-anak yang tak serta merta menjadi “beo” penguasa, sang “despot” yang merasa sebagai dewa atas sesama yang lain. Anak-anak zaman yang dengan tegas berani mengatakan tidak melalui caranya sendiri. Maka, tembok dan sarana kosong, menjadi luapan semangat atas ekspresi kebebasan mereka, ketika sarana formal berupa media cetak maupun elektronik telah menjadi sarang amatan penguasa, yang tiap saat dapat diberangus dan dihancurkan hanya atas dalih mengganggu kestabilan, dan ketentraman negri.

Sudah setengah abad lebih republik ini “merdeka”, lepas dari zaman kolonial Belanda dan Jepang. Namun apakah, di usia yang sudah mulai memasuki masa dewasa dan meninggalkan kenangan remaja ini, kita sebagai anak bangsa telah mengecap kemerdekaan dalam arti kebebasan ? Baiklah, mari kita coba buka sekelumit sejarah kebebasan berekspresi dalam bentuk kata-lisan dan tulisan di dua orde yang telah lewat. Orde lama, juga orde baru.

PEMBUNGKAMAN

Adalah seorang Pramoedya Ananta Tour, yang di zaman perang kemerdekaan tak pernah menyesal ditangkap dan dipenjarakan Belanda, karena ia anggota dari pasukan Republik. Mungkin tak terlalu muluk bagi bang Pram dan anak negri Hindia yang lain, rela berkorban hanya untuk meraih dua kata, “kemerdekaan-kebebasan”. Adakah kata hanya sebatas kata tanpa makna ? Di zaman kemerdekaan, zaman “Demokrasi Terpimpin” Soekarno ia dipenjara tentara, karena bukunya Hoakiu di Indonesia. Di zaman “Orde Baru” Soeharto ia dipenjarakan, dibuang ke Pulau Buru selama 13 tahun bersama 12.000 tahanan politik lainnya tanpa proses peradilan, dan kemudian dikembalikan ke Jakarta tetapi tetap tak bebas, selama hampir 20 tahun. Karya sastranya, buah dari hasil kebebasan ekspresinya yang terjepit diantara lars dan kokangan bedil senapan sesama anak negri, tak jua boleh terbit dan beredar di negrinya sendiri. Negri yang ia cintai dan turut larut dalam perjuangan meraih kemerdekaannya. Sebuah negri yang bernama Indonesia.

Adakah Bang Pram sendiri dan merasa ter-sendiri yang dicerabut hak-hak kebebasan berekspresinya ? “Marilah kita ingat bahwa pada mula dan pada intinya adalah pembungkaman”, kata bang G. Muhamad. Di tahun 1973, 1978, 1982, dan entah kapan lagi di masa orde baru, pembredelan terjadi. Di tahun 1994 juga. Tetapi apa yang menyusul pembredelan 1994 sama sekali berbeda. Setelah pembredelan terhadap Tempo, DeTik dan Editor itu, dua hal terjadi, yang tak pernah terjadi sebelumnya. Telah lahir kembali anak-anak zaman. Anak-anak yang berani menyuarakan sesuatu yang dianggap mereka “benar”. Untuk itu, di Jakarta, Yogya, Surakarta, Bandung dan Ujung Pandang demonstrasi pun terjadi. Sebuah barang mahal dan langka di republik ”merdeka” yang katanya telah mengenal demokrasi saat itu. Mereka melakukan aksi protes di jalan raya, di bawah terik mentari, juga di depan moncong bedil tentunya. Meski secara sadar, atau mungkin juga tidak, mereka telah memasukkan dan dimasukkan dalam sebuah “rumah kaca” anjing-anjing pengawas sang despot – the doug of glass home.

Gandhi dan Ahmad Dinejad

“Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tapi tak cukup untuk seorang yang serakah”. Demikian ucap Opa “Gandhi”, sang kreator revolusi damai di India. Saya tak punya cukup keberanian untuk membongkar makna “serakah”, tapi masih memiliki secuil kegelisahan atas hal tersebut. Serakah ingin memiliki segalanya, membuat orang terkadang lupa, bahwa di sekelilingnya ada sekumpulan komunitas orang yang juga membutuhkan kenyamanan hidup seperti dirinya. Kenyamanan akan kebebasan berekspresi, menyuarakan kata hati dan pendapatnya atas hal apa saja. Jika, sang penguasa telah kawin dengan keserakahan (dan hal tersebut paling sering terjadi, tidak Soekarno, Soeharto, Hitler, Stalin, juga Bush), maka telah lahir pula anak zaman yang lain, dan itulah yang disebut kekuasan sang Despot. Kata dan kalimat adalah implementasi kekuasaan. Tak boleh tidak, apalagi lebih. Untuk itu, maka di era ORBA, perlu ada Harmoko, yang senantiasa patuh mengejawantahkan maksud “Bapak”, dan semua media mesti mengamini, mematuhi dan menyebarkannya. Tak boleh berbeda, karena hal tersebut bisa menganggu stabilitas, serta menghambat pembangunan. Disinilah, kebebasan menjadi sesuatu yang langka, juga mahal.

Namun, di sudut gerbang masa yang lain, ada seorang Mahmoud Ahmadinejad yang dengan lantang berani mengungkapkan ekspresinya secara eksplisit atas Eropa juga USA disebuah forum resmi negara-negara Islam. “Pembantaian enam juta umat Yahudi pada masa Perang Dunia II oleh Nazi hanyalah sebuah mitos yang dipakai bangsa-bangsa Eropa sebagai dalih untuk menciptakan negara-negara Yahudi di tengah-tengah dunia Islam”. Hitler – sang Fuhrer megalolamania, seorang kopral Prusia yang kemudian menjadi penguasa Jerman, mungkin bisa juga tersentak dari kuburnya, Sekiranya demikian ucapan seorang Presiden Iran, negeri yang memiliki sejarah panjang perlawanan melawan tirani. Mahmoud mungkin telah membuat sebuah “kesalahan” atas apa yang diucapkannya di forum tersebut, tapi tidak untuk keberaniannya mengungkapkan (mungkin) ekspresi kekesalannya terhadap kooptasi negara-negara adidaya atas dunia Islam. Dan ia mendapatkan panggungnya. Ketika, setelah ucapan tersebut langsung mendapat respon negatif berupa kecaman dari berbagai pemimpin dunia, Mahmoud sang presiden yang negaranya sementara terjebak dalam pentas rumah kaca internasional (khusus USA), karena isu nuklir tersebut, dengan santai meresponnya (mungkin juga sambil senyam-senyum), “ah, ternyata mereka (negara-negara pengecam) belum dewasa dalam menghargai perbedaan pendapat”. Sederhana, namun cukup berani untuk sebuah bangsa yang kecil dan sementara menjadi incaran bombardir keserakahan global, yang mengklaim diri sebagai world police.

Luka Di Jazirah Al Mulk

Lalu, bagaimana dengan negeri kecil namun indah yang kaya akan sumberdaya alamnya ini. Negeri kecil yang dalam catatan sejarahnya cukup kenyang dengan penjajahan dan penjarahan kekayaan alam. Negeri kecil yang memiliki banyak pulau dan keindahan alam pesisirnya. negeri kecil yang kaya akan situs budayanya. Dan negeri kecil yang telah ditempati moyang kita sejak dulu kala. Negeri Al-Mulk.
Adakah ia membatasi, juga membungkam kebebasan ekspresi anak negerinya?
Entahlah...
Yang pasti, pada tahun 2004 adalah seorang Rusdi Tunggapi yang berusaha mempertahankan tanahnya ditembak mati oleh aparat di lokasi pertambangan PT. NHM. Ia dan warga kampungnya mencoba untuk mempertahankan sumber ekonominya, dan mempertahankan hak disini berarti bersalah, dan mesti mati. Adakah tindak kekerasan itu berakhir, sepertinya tidak. Sore hari, 27 februari 2010, letusan bedil kembali memakan korban anak negerinya sendiri. Warga yang menuntut hak-haknya kembali mesti dibungkam oleh bedil aparat yang berslogan pelindung rakyat. Mereka, warga-masyarakat Gebe – Halmahera Tengah – Maluku Utara yang kekayaan nikelnya dijarah PT. Aneka Tambang, menuntut, lalu ditembaki. Menuntut sepertinya sesuatu yang salah dimata aparat kita.

Adakah penembakan, perampasan hak, pembungkaman dan penindasan terhadap warga kita itu, mampu menggugah alam pikir dan rasa kita semua warga Maluku Utara ?
Lagi-lagi entahlah..

Fakta yang terlihat secara nyata, kesucian Bumi Halmahera masih terus diperkosa, keanggunan dan kemolekan tubuhnya perlahan semakin sirna. Tangan-tangan keserakahan, dengan “tameng negara”, menggunakan ekskafator dan beragam alat berat penghancur, menjarah tanpa ampun kekayaan tambang, yang merupakan warisan anak cucunya. Menyisakan kerusakan dan kehancuran bagi alamnya, serta duka, air mata dan ketertindasan dalam kemiskinan bagi rakyatnya. Dan ketika semua hak itu ingin kita rebut kembali, maka “moncong bedil sang pelindung” kan berpihak pada Company pertambangan, tidak pada kita, anak bangsanya sendiri.
Akankah kita, mereka dan kami semua dibiarkan terus hidup dalam ketertindasan dan perbudakan, hingga akhirnya mesti terusir dari tanah moyangnya sendiri? Yah, terkadang tak semua pertanyaan butuh jawaban dan tak semua jawaban dalam kata adalah solusi. Warga Gebe ditembaki oleh aparat yang bermotto “Pelindung Rakyat”. Gebe punya ANTAM, sementara Halmahera punya Company Nusa Halmahera Mineral, Company Weda bay Nickel dan ratusan izin Kuasa Pertambangan. Jika satu company pertambangan mengakibatkan satu komunitas kecil yang berani menyuarakan haknya dihujani peluru, dan berakhir dengan luka dan duka, lalu siapa yang berani menjamin bahwa duka tersebut takkan dilakukan oleh company-company pertambangan yang lain di Jazirah Al-Mulk ini ?

Entahlah.., toh Maluku Utara hanyalah salah satu titik kecil yang juga tak luput dari pantauan Rumah Kaca Kolonial. Mungkin juga medianya. Wallahualam Bissawab.

PT. NHM – PIPA BOCOR dan KARUNG BOCOR

Oleh: Ismet Soelaiman
Direktur Eksekutif WALHI MALUKU UTARA
(Malut Post: Opini,24 februari 2011)

“Jangan agungkan Eropa sebagai keseluruhan.
Di mana pun ada yang mulia dan jahat…
Kau sudah lupa kiranya, nak,
yang kolonial selalu iblis.
Tak ada yang kolonial pernah mengindahkan
kepentingan bangsamu.”

Tegas, kalimat diatas mengingatkan kita, untuk senantiasa awas terhadap kekejaman kolonial. Diungkapkan oleh Bung Pram (Pramudya Ananta Toer), sang maestro sastra, yang hampir separuh hidupnya dihabiskan dalam penjara. 3 tahun dalam penjara Kolonial, 1 tahun di Orde Lama, dan 14 tahun yang melelahkan di Orde Baru. Ia, almarhum Bung Pram itu, adalah satu-satunya wakil Indonesia, yang namanya berkali-kali masuk dalam Kandidat Pemenang Nobel Sastra. Dari pengasingannya di Pulau Buru, lahir karya sastranya yang fenomenal – TETRALOGI. Ungkapan tegas tersebut sebagai pembuka tulisan ini, terdapat dalam salah satu sampul belakang dari tetraloginya “Anak Semua Bangsa”, terbitan Lentera, 2008.

Kita tinggalkan sejenak sang maestro, karena di Halmahera Utara (Halut), salah satu kabupaten di daratan besar Maluku Utara, pipa tailing PT. Nusa Halmahera Minerals (NHM), telah bocor untuk yang kedua kalinya, yakni pada tanggal 3 februari 2011. Informasi kebocoran tersebut, baru kami ketahui pada tanggal 12 februari 2011, lewat laporan warga. Menurut Pendeta Yantje G. Namotemo (Tokoh Agama Desa Balisosang), pipa tailing PT. NHM terlepas pada tanggal 3 februari 2011, pada jam 11 malam. Diperkirakan limbah beracun yang terlepas ke Sungai Sambiki ± 361 ton, yang mengalir ke Sungai Bora dan Kobok, yang melalui areal perkebunan warga. Pada tanggal 07 februari 2011, warga menemukan banyak ikan dan kepiting yang telah mengambang di permukaan Sungai Sambiki karena mati.

Riskannya, insiden yang mengancam tatanan ekologi di daratan Halmahera itu, bahkan sector produktivitas ekonomi masyarakat tempatan, hingga 2 minggu berjalan tak pernah disampaikan secara resmi kepada publik Maluku Utara. Staf Humas PT. NHM justru menjawab “…belum mau berkomentar dengan alasan sedang cuti” (Malut Post, senin 14 februari 2011). Jawaban yang “enteng” untuk sebuah insiden yang mengancam ratusan nyawa makhluk hidup di daratan Halmahera. Hal ini menunjukkan ketidak profesionalan PT. NHM yang adalah sebuah perusahaan tambang emas raksasa dalam menangani persoalan lingkungan hidup.

Lain sikap PT. NHM, lain pula sikap pemerintah daerah kita. Badan Lingkungan Hidup (BLH) Maluku Utara, justeru baru akan melakukan koordinasi dengan BLH Halut pada hari senin, 21 februari 2011 (Malut Post, 16 februari 2011). Setelah 17 hari (2 minggu + 3 hari) bencana ekologi terjadi, BLH – sebuah instansi, yang mestinya terdepan menjaga kondisi lingkungan hidup di Maluku Utara, baru akan berkoordinasi untuk membentuk tim investigasi di lapangan. Tragis benar dan benar tragis sekali, nuansa perlindungan lingkungan hidup di Maluku Utara. Seandainya Voltire sang pengarang yang hidup di zaman bahoela itu masih hidup dan melihat fenomena kerja coorporat dan birokrat di Maluku Utara ini, mungkin ia akan tersenyum malu, karena “drama” nyata mereka lebih memunculkan banyak tanya, namun endingnya mudah ditebak.

Jika mengatakan instansi pemerintah tak mengetahui insiden pipa bocor PT. NHM pada tanggal 03 februari 2011, sepertinya penting juga kita simak statement Manager Hubungan Pemerintah PT. NHM. Menurutnya; “…waktu pertama bocor, kita langsung laporkan ke inspektorat pertambangan di NHM dan Dinas Pertambangan bahkan sampai ke pusat” (Malut Post, 18 februari 2011). Nah, adakah insiden pipa bocor tersebut tak berhubungan dengan persoalan lingkungan hidup, sehingga Badan Lingkungan Hidup Halmahera Utara dan Maluku Utara tak penting tuk diberitahu ? Lebih fatal lagi, jika ternyata sudah tahu, lalu berlagak tak tahu, sehingga terjadi pembiaran kasus. Adakah ini sebuah drama, ataukah kenyataan, atau jangan-jangan kenyataan yang didramatisir ? Tentu hanya “mereka” yang tahu.

Saya teringat satu istilah yang sering diungkapkan oleh orang Manado untuk mengatakan orang yang suka berbohong dengan sebutan “karung bocor”. Entah karena apa, insiden pipa bocor PT. NHM, mengantarkan saya pada asumsi, public Maluku Utara dapa (tanpa “t”) karung bocor atas insiden tersebut. Pemerintah Maluku Utara mestinya tegas bersikap menghentikan pengoperasian PT.NHM sebagai sangsi dan mendesak PT. NHM untuk melakukan restorasi ekologi dan juga ekonomi atas lingkungan setempat. Emas kita dikeruk, dibawa ke negeri asing, lalu limbah ditinggalkan di negeri asal Maluku Utara.

Maaf Bung Pram, sepertinya saya sulit untuk lupa, jika yang Kolonial itu selalu iblis, meski saya mengakui, bahwa saya bukan malaikat, dan masih manusia. Yah, Bung Pram, sepertinya saya juga mulai percaya, Tak ada yang Kolonial pernah mengindahkan kepentingan bangsaku. Bagaimana dengan mu, hai saudara ku sebangsa dan se tanah – air, adakah kau ? Tabea, Syukur Dofu-Dofu.